BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali
merupakan salah satu pulau bagian dari Negara Indonesia yang memiliki potensi budaya yang sangat
kental, baik dari segi sistem adat, kebudayaan dan kesenian. Bali memiliki
keunggulan tersendiri dibandingkan dengan dengan daerah-daerah di Indonesia. Keunggulan
inilah yang menjadi cirri khas pulau Bali yang memberikan daya tarik bagi para
wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Yang menjadi maskot pulau Bali adalah
kebudayaannya yang tidak dimiliki oleh
daerah lain. Sistem kebudayaan di Bali terdiri dari tujuh sistem sebagai berikut.
1. Sistem
Mata Pencaharian
2. Sistem
Peralatan
3. Sistem
Kemasyrakatan
4. Sistem
Ilmu Pengetahuan
5. Sistem
Agama
6. Sistem
Kesenian
7. Sistem
Bahasa
Ketujuh sistem
kebudayaan tersebut dimiliki oleh semua desa-desa yang ada di Bali. Antara desa
yang satu dengan desa yang lainnya memiliki sistem kebudayaan yang berbeda baik
dari segi sistem kemasyarakatannya, sistem keseniannya dan lain-lain. Perbedaan
inilah yang menjadikan setiap desa memiliki cirri khasnya masing-masing yang
sekaligus menimbulkan keragaman kebudayaan.
Seluruh desa-desa di
Bali memiliki asal usul yang berbeda-beda. Terbentuknya suatu desa memiliki
keunikan tersendiri, baik dilihat dari segi nama desa dan sistem adat. Ada
beberapa desa di Bali yang memiliki tradisi yang sangat unik yang benar-benar mempertahankan
tradisi yang diwariskan oleh para leluhurnya secara turun-temurun sampai saat
ini. Desa tersebut adalah Desa Trunyan dan Desa Penglipuran. Kedua desa
tersebut memiliki tradisi yang sangat unik baik dari sejarahnya ataupun sistem
adatnya. Tradisi-tradisi yang ada pada dua desa tersebut tidak dimliliki oleh
desa-desa lainnya di Bali. Walaupun ditengah gempuran arus modernisasi, kedua
desa tersebut tetap mempertahankan tradisi yang diwariskan leluhurnya. Itulah
yang menyebabkan kedua desa tersebut disebut dengan Desa Bali Aga atau Desa Bali
Mula. Sehingga ketika kita mendatangi desa tersebut, kita akan merasakan suasana Bali yang sangat
tradisional. Hal inilah yang menyebabkan kedua desa tersebut menjadi tujuan
para wisatawan.
Berpijak dari hal
tersebut diatas, penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang keberadaan Desa
Penglipuran, sejarahnya, sistem adatnya serta keunikan-keunikan desa tersebut
melalui paper yang berjudul “ Sejarah Dan Keunikan Desa Adat Penglipuran,
Bangli”.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam rumusan masalah
ini, penulis merumuskan beberapa masalah pokok yang akan menjadi pokok bahasan
dalam paper ini, di antaranya sebagi berikut.
1.2.1
Bagaimanakah sejarah Desa Adat
Penglipuran?
1.2.2
Apa sajakah keunikan-keunikan yang
ada di Desa Adat Penglipuran?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan
pemaparan rumusan masalah diatas maka dalam paper ini ada dua tujuan yang ingin
dicapai sebagai berikut.
1.3.1
Tujuan
Umum
Untuk
menginformasikan kepada masyarakat tentang sebuah desa yang memiliki tradisi
sangat kental yaitu Desa Adat Penglipuran mengenai sejarah atau asal usul Desa
Adat Penglipuran beserta
keunikan-keunikan desa tersebut yang menjadi pembeda dengan desa-desa lainnya
di Bali.
1.3.2
Tujuan
Khusus
Secara
khusus, tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini dapat dijabarkan berikut ini.
1.
Untuk mengetahui sejarah Desa Adat
Penglipuran
2.
Untuk mengetahui keunikan-keunikan yang
ada di Desa Adat Penglipuran
1.4 Manfaat Penulisan
Melalui
paper ini, diharapkan masyarakat dapat memahami bagaimana asal usul Desa Adat
Penglipuran beserta keunggulan, keistimewaan dan ciri khas Desa Adat Penglipuran
yang meliputi tata bangunan, sistem adat, stratifikasi social, sistem
perkawinan dan lain-lain.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Keberadaan Desa Adat
Penglipuran
Desa Penglipuran adalah
sebuah desa di kabupaten Bangli, Bali, tepatnya di kelurahan Kubu, Kecamatan
Bangli. Desa Penglipuran terletak pada jalur wisata Kintamani, sejauh 5 Km dari
pusat kota Bangli, dan 45 Km dari pusat kota Denpasar. Desa ini berudara sejuk karena
terletak 700 m di atas permukaan laut. Luas Desa Adat Penglipuran mencapai 112
hektare, terdiri atas 37 hektare hutan bambu yang dimanfaatkan masyarakat
setempat untuk kerajinan tangan dengan sistem tebang pilih, ladang seluas 49
hektare, dan untuk perumahan penduduk seluas 12 hektare dengan batas
wilayah desa adat Kubu di sebelah timur, di sebelah selatan desa adat Gunaksa,
dan di sebelah barat Tukad, sedangkan di sebelah utara desa adat Kayang.
Jumlah penduduknya 743 orang, kebanyakan
dari mereka hidup sebagai petani dan hanya sebagian kecil sebagai pegawai
negeri. Tari-tarian dan cenderamata berkembang dengan baik di desa terpencil
ini.
Desa ini merupakan satu
kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifik dari struktur desa tradisional,
sehingga menampilkan wajah pedesaan yang asri. Keasrian desa adat tersebut
sudah bisa dirasakan begitu memasuki kawasan pradesa yang memaparkan kehijauan
rerumputan dan deretan bambu yang jadi pagar desa. Itu adalah area catus pata
atau area tapal batas untuk masuk ke Penglipuran. Adapun daerah penerimanya
ditandai dengan Balai Wantilan, Balai Banjar adat, dan ruang pertamanan terbuka.
Di sana terdapat daerah parkir dan fasilitas KM/WC bagi pengunjung. Area
berikutnya adalah areal tatanan pola desa yang diawali dengan gradasi ke fisik
desa secara liniar membujur ke arah utara dan selatan. Rumah-rumah itu dibelah
oleh sebuah jalan utama desa yang ditutup oleh bebatuan dan ditamani rerumputan
di kiri kanannya. Area pemukiman serta jalan utama desanya merupakan kawasan
bebas kendaraan terutama roda empat. Pada sepanjang jalan setapak itu terdapat
ratusan rumah, berderet berimpitan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu
bata merah atau anyaman bambu. Pintu masuk gerbang rumah penduduk itu sempit,
hanya berukuran satu orang dewasa, dan bagian atas pintunya menyatu dengan atap
gerbang yang terbuat dari bambu. Keheningan menyergap ketika menelusuri jalan
setapak dari bebatuan yang bercampur dengan kerikil. Penataan fisik dari struktur desa tersebut
tidak terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah berlaku turun-temurun.
Desa ini memiliki
potensi budaya yang hingga saat ini masih dilestarikan dalam bentuk rumah
tradisional yang membedakan desa ini dari desa-desa yang lainnya. Perlu
diketahui, Desa Penglipuran adalah salah satu desa tradisional atau desa tua di
Bali atau sering disebut Bali Aga atau Bali Mula. Tradisi begitu kukuh dipegang
oleh masyarakatnya, terutama yang berkaitan dengan penataan pekarangan rumah.
Di tengah gempuran arus modernisasi, keteguhan masyarakat Pengelipuran tampak
dari rapinya penataan kawasan hunian masyarakat setempat.
2.2
Sejarah Desa Adat Penglipuran
Dari sudut pandang
sejarah dan menurut para sesepuh, kata Penglipuran berasal dari kata “Pengeling
Pura” yang berarti tempat suci mengenang para
leluhur. Tempat ini sangat berarti sejak leluhur mereka datang
dari desa Bayung
Gede ke Penglipuran yang jaraknya cukup jauh, oleh karena itu
masyarakat Penglipuran mendirikan pura yang sama sebagaimana yang ada di desa
Bayung Gede. Dalam hal ini berarti masyarakat Penglipuran masih mengenal asal
usul mereka. Pendapat lain mengatakan bahwa Penglipuran berasal dari kata “Penglipur”
yang berarti “penghibur” karena pada jaman kerajaan tempat ini dijadikan tempat
peristirahatan.
Penglipuran memiliki
dua pengertian, yaitu pangeling yang kata dasarnya “eling” atau mengingat.
Sementara pura artinya tanah leluhur. Jadi, penglipuran artinya mengingat tanah
leluhur. Kata itu juga bisa berarti “penghibur” yang berkonteks makna memberikan
petunjuk bahwa ada hubungan sangat erat antara tugas dan tanggung jawab
masyarakat dalam menjalankan dharma agama.
Masyarakat desa adat penglipuran percaya
bahwa leluhur mereka berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani.Sebelumnya
desa Panglipuran bernama Kubu Bayung. Pada jaman dahulu raja bali memerintahkan
pada warga-warga di Bayung Gede untuk mengerjakan proyek di Kubu Bayung, tapi
akhirnya para warga tersebut memutuskan untuk menetap di desa Kubu Bayung.
Dilihat dari segi tradisi, desa adat ini menggunakan sistem pemerintahan hulu apad. Pemerintahan desa adatnya
terdiri dari prajuru hulu apad dan prajuru adat. Prajuru hulu apad terdiri dari jero
kubayan, jero kubahu, jero singgukan, jero cacar, jero balung dan jero pati. Prajuru hulu apad otomatis dijabat oleh mereka yang paling senior
dilihat dari usia perkawinan tetapi yang belum ngelad. Ngelad atau pensiun terjadi bila semua anak sudah kawin
atau salah seorang cucunya telah kawin. Mereka yang baru kawin duduk pada
posisi yang paling bawah dalam tangga keanggotaan desa adat. Menyusuri jalan
utama desa kearah selatan anda akan menjumpai sebuah tugu pahlawan yang
tertata dengan rapi.Tugu ini dibangun untuk memperingati serta mengenang jasa
kepahlawanan Anak Agung Gede Anom Mudita atau yang lebih dikenal dengan nama
kapten Mudita. Anak Agung Gde Anom Mudita, gugur melawan penjajah Belanda pada
tanggal 20 November 1947. Taman Pahlawan ini dibangun oleh masyarakat desa adat
penglipuran sebagai wujud bakti dan hormat mereka kepada sang pejuang.Bersama
segenap rakyat Bangli, Kapten Mudita berjuang tanpa pamrih demi martabat dan
harga diri bangsa sampai titik darah penghabisan.
2.3 Keunikan Desa Adat Penglipuran
Ada beberapa hal yang unik dari Desa
Adat Penglipuran yang merupakan ciri khas dari desa tersebut. Keunikan inilah
yang menyebabkan Desa Penglipuran memiliki potensi budaya yang menimbulkan daya
tarik bagi para wisatawan. Keunikan tersebut adalah dari bentuk bangunan yang
seragam, masyarakat yang anti poligami, sistem adat, tata ruang desa,bentuk
bangunan dan topografi, upacara kematian (ngaben),
stratifikasi social, mata pencaharian, kesenian serta organisasi.
Keunikan-keunikan tersebutlah yang menjadi pembeda antara desa Penglipuran
dengan desa-desa yang lainnya.
2.3.1 Bentuk
Bangunan Yang Seragam
Keunggulan dari desa adat penglipuran ini dibandingkan dengan
desa-desa lainnya di Bali adalah, bagian depan rumah yang serupa dan seragam
dari ujung utama desa sampai bagian hilir desa. Keseragaman wajah desa, selain
pada bentuk, juga bahan bangunannya berupa tanah untuk tembok penyengker dan
angkul-angkul serta atap dari bambu yang dibelah untuk seluruh bangunan desa.
Penggunaan bambu baik untuk atap, dinding maupun kebutuhan lain-lain merupakan
suatu keharusan untuk digunakan karena Desa Penglipuran dikelilingi oleh hutan
bambu yang termasuk teritorial desa tersebut. Penataan rumah dan pekarangan
sangat ketat dan mengikuti ketentuan Asta
Kosala-Kosali, Asta Bumi, Sikut Karang, dan berbagai aturan yang tertulis
maupun yang tidak tertulis lainnya. Maka, setiap pekarangan dan rumah di desa
itu selalu mempunyai pola atau tatanan yang sama. Dan hal itu merupakan
keunggulan Penglipuran sebagai desa adat.
Pola penataan ruang dan tata letak bangunan tradisional di
Penglipuran menggunakan Pola Dasar Nawa Sanga, yaitu penggabungan orientasi
antara gunung dan laut serta terhadap peredaran matahari. Ciri yang menonjol
adalah As Utara Selatan (kaje kelod dengan axis linier). Axis linier
ini juga berfungsi sebagai open space
untuk kegiatan bersama. Open space
ini berorientasi ke arah kaja kelod dan membagi desa menjadi dua bagian. Open space Desa Tradisional penglipuran
menanjak menuju ke arah gunung (utara) dimana terdapat bangunan suci dengan
orientasi ke Gunung Batur. Pola tata ruang dan tata letak bangunan rumah di
Desa Adat Penglipuran pada umumnya mengikuti pola Tri Mandala.
2.3.2 Masyarakat
Anti Poligami
Selain keseragaman
bentuk bangunan, desa yang terletak pada ketinggian 700 meter dari permukaan
laut ini juga memiliki sejumlah aturan adat dan tradisi unik lainnya. Salah
satunya, pantangan bagi kaum lelakinya untuk beristri lebih dari satu atau
berpoligami. Lelaki Penglipuran diharuskan menerapkan hidup monogami yakni
hanya memiliki seorang istri. Pantangan berpoligami ini diatur dalam peraturan
(awig-awig) desa adat. Dalam bab perkawinan (pawos pawiwahan)
awig-awig itu disebutkan, krama
Desa Adat Penglipuran tan kadadosang madue istri langkung ring asiki.
Artinya, krama Desa Adat Penglipuran tidak diperbolehkan memiliki istri lebih
dari satu. Jika ada lelaki Penglipuran beristri yang coba-coba merasa bisa
berlaku adil dan menikahi wanita lain, maka lelaki tersebut akan dikucilkan di
sebuah tempat yang diberi nama Karang Memadu. Karang artinya
tempat dan memadu artinya berpoligami. Jadi, Karang Memadu merupakan sebutan untuk tempat bagi orang yang
berpoligami. Karang Memadu merupakan sebidang lahan kosong di ujung
Selatan desa.
Penduduk
desa akan membuatkan si pelanggar itu sebuah gubuk sebagai tempat tinggal
bersama istrinya. Dia hanya boleh melintasi jalan-jalan tertentu di wilayah
desa. Artinya, suami-istri ini ruang geraknya di desa akan terbatas. Tidak
hanya itu, pernikahan orang yang berpoligami itu juga tidak akan dilegitimasi
oleh desa, upacaranya pernikahannya tidak dipimpin oleh Jero Kubayan
yang merupakan pemimpin tertinggi di desa dalam pelaksanaan upacara adat dan
agama. Implikasinya, karena pernikahan itu dianggap tidak sah maka orang
tersebut juga dilarang untuk bersembahyang di pura-pura yang menjadi emongan
(tanggung jawab) desa adat. Mereka hanya diperbolehkan sembanyang di tempat
mereka sendiri.
2.3.3 Sistem Adat Desa Penglipuran
Di desa Panglipuran terdapat dua sistem
dalam pemerintahan yaitu menurut sistem pemerintah atau sistem formal
yaitu terdiri dari RT dan RW, dan sistem yang otonom atau Desa adat.Kedudukan desa
adat maupun desa formal berdiri sendiri- sendiri dan setara. Karena otonom, desa
adat mempunyai aturan-aturan tersendiri menurut adat istiadat di daerah
panglipuran dengan catatan aturan tersebut tidak bertentangan dengan pancasila
dan Undang-undang pemerintah. Undang-undang atau aturan yang ada di desa
panglipuran disebut dengan awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan
implementasi dari landasan operasional masyarakat panglipuran yaitu Tri Hita
Karana. Tri Hita Karana tersebut
yaitu sebagai berikut.
1.
Parhyangan adalah hubungan
manusia dan tuhan. Meliputi penentuan hari suci, tempat suci dan lain-lain.
2. Pawongan
adalah hubungan manusia dan manusia. Meliputi hubungan masyarakat panglipuran
dengan masyarakat desa lain, maupun hubungan dengan orang yang beda agama.
Dalam pawongan bentuk-bentuknya meliputi sistem perkawinan, organisasi,
perwarisan dan lain-lain.
3. Palemahan adalah hubungan manusia dan ligkungan,
masyarakat Desa Penglipuran diajarkan untuk mencintai alam lingkungannya dan
selalu merawatnya, tidak heran kalau desa panglipuran terlihat begitu asri. Dan
memang pada umumnya masyarakat di Bali sangat cinta terhadap alam, mereka
menganggap manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan hewan dan
tumbuhan, sehingga manusia bertugas menjaga alam semesta ini. Filsafat hubungan
yang selaras antara alam dan manusia dan kearifan manusia mendayagunakan alam
sehingga terbentuk ruang kehidupan terlihat jelas di Penglipuran dan daerah
lain di Bali. Nilai estetika yang ditimbulkan dari hubungan dari hubungan
yang selaras dan serasi sudah menyatu dalam proses alami yang terjadi dari
waktu ke waktu. Oleh karena itu, visualisasi estetika pada kawasan ini bukan merupakan barang
langka yang sulit dicari, melainkan sudah menyatu dalam tata lingkungannya.
2.3.4 Tata Ruang
Desa Adat Penglipuran
Tata ruang desa panglipuran dikenal
dengan Tri Mandala yang terdiri dari tiga
bagian sebagai berikut.
1.
Utara Mandala
Orang Penglipuran biasa menyebutnya
sebagai utama mandala, yang bisa
diartikan sebagai tempat suci. Ditempat inilah orang-orang Penglipuran melakukan
kegiatan sembahyang kepada Sang Hayng Widhi yang mereka percaya sebagai Tuhan
mereka.
2. Madya Mandala
Biasanya adalah berupa pemukiman
penduduk yang berbanjar sepanjang jalan utama desa. Barisan itu berjejer
menghadap ke arah Barat dan Timur. Saat ini jumlah rumah yang ada disana ada
sebanyak 70 buah. Tata ruang pemukimannya sendiri adalah sebelah Utara atau Timur
adalah pura keluarga yang telah diaben, sedangkan
madya mandala adalah rumah keluarga. Di
tiap rumah pun terdapat tata ruang yang telah diatur oleh adat. Tata ruangnya
adalah sebelah utara dijadikan sebagai tempat tidur, tengah digunakan sebagi
tempat keluarga sedangkan sebelah timur dijadikan sebagai tempat pembuangan
atau MCK. Dan bagian nista dari
pekarangan biasanya berupa jemuran, garasi dan tempat penyimpanan
kayu.
3. Nista Mandala
Nista mandala ini adalah
tempat yang paling buruk, disana terdapat kuburan
dari masyarakat panglipuran.
2.3.5 Bentuk Bangunan
dan Topografi
Topografi desa tersusun sedimikian rupa
dimana pada daerah utama desa kedudukannya lebih tinggi demikian seterusnya
menurun sampai daerah hilir. Pada daerah desa terdapat Pura Penataran dan Pura
Puseh yang merupakan daerah utama desa yang unik dan spesifik karena
disepanjang jalan koridor desa hanya digunakan untuk pejalan kaki, yang kanan kirinya
dilengkapi dengan atribut-atribut struktur desa; seperti tembok penyengker, angkul-angkul, dan telajakan
yang seragam. Keseragaman dari wajah desa tersebut disamping karena adanya keseragaman
bentuk juga dari keseragaman bahan yaitu bahan tanah untuk tembok penyengker
dan angkul-angkul (pol-polan) dan atap dari bambu yang dibelah untuk
seluruh bangunan desa.
2.3.6 Upacara
Kematian (Ngaben)
Seperti daerah lain yang ada di Bali, di
Penglipuran masyarakatnya mengadakan
upacara yang biasa disebut ngaben. Dimana ngaben ini adalah suatu upacara kematian dalam
rangka mengembalikan arwah orang yang meninggal yang awalnya menurut
kepercayaan orang Bali arwah tersebut masih tersesat kemudian dikembalikan ke
pura kediaman si arwah. Yang membedakan daerah ini hanyalah pada ritualnya
saja. Dimana, apabila orang bali lain ngaben
dilakukan dengan cara membakar mayat, di Penglipuran mayat di kubur. Hal
tersebut dilakukan oleh masyarakat Penglipuran sebagai tanda hormat dan
juga sebagai cara untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk mengingat
daerah Penglipuran yang berada di daerah pegunungan yang jauh dari laut,
seperti yang diketahui bahwa abu jenazah yang telah dibakar harus dilarung atau dibuang ke laut, sedangkan
bagi orang Bali menyimpan abu jenazah adalah suatu pantangan, jadi solusi
terbaik adalah
dimakamkan.
2.3.7 Stratifikasi
Sosial
Di Penglipuran hanya ada satu tingkatan
kasta, yaitu Kasta Sudra, jadi di Penglipuran kedudukan antar warganya setara. Hanya
saja, ada seseorang yang diangkat untuk memimpin mereka yaitu ketua adat.Pada
saat ini, ketua adat yang masih menjabat adalah I Wayan Supat. Pemilihan ketua
adat tersebut dilakukan lima tahun sekali.
2.3.8 Kesenian
Di Desa Panglipuran Panglipuran terdapat
tari-tarian, yaitu Tari Baris. Tari Baris sebagai salah satu bentuk seni
tradisional yang berakar kuat pada kehidupan masyarakatnya dan hidup secara
mentradisi atau turun temurun, dimana keberadaan Tari Baris Sakral di Desa
Adat Penglipuran adalah merupakan tarian
yang langka, dan
berfungsi sebagai tari penyelenggara upacara Dewa Yadnya. Adapun iringan gamelan yang mengiringi pada saat pementasan
semua jenis Tari Baris Sakral tersebut adalah seperangkat gamelan gong gede yang
didukung oleh Sekaa Gong Gede Desa Adat Penglipuran. Unsur bentuk ini meliputi juga
keanggotaan Sekaa Baris Sakral ini diatur
dalam Awig-Awig Desa Adat
Penglipuran. Kemudian, nama-nama penari ketiga jenis Baris Sakral ini juga
telah ditetapkan, yakni Baris Jojor 12 orang, Baris Presi 12 orang, dan Baris
Bedil 20 orang.
2.3.9 Mata Pencaharian
Mata pencaharian para penduduk Desa
Panglipuran adalah sebagai petani. Dimana, sawah menjadi tumpuan harapan mereka
di samping kerajinan tangan yang mereka jual kepada para wisatawan yang berkunjung
ke desa mereka. Penduduk desa ini dilimpahi hujan yang lebat tiap tahunnya
sehingga memudahkan penduduknya dalam bercocok tanam dan masalah irigasi.
2.3.10 Organisasi
Masyarakat Desa Panglipuran yang berumur
tiga belas tahun diwajibkan untuk masuk organisasi yang dinamakan Karang Taruna dan
harus masuk organisai ini sampai mereka menikah.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Desa adat Penglipuran berlokasi pada
kabupaten Bangli yang berjarak 45 km dari Kota Denpasar, desa adat yang juga
menjadi objek wisata ini sangat mudah dilalui. Karena letaknya yang berada di jalan
utama Kintamani (Bangli). Desa Penglipuran ini juga tampak begitu asri,
keasrian ini dapat dirasakan begitu memasuki kawasan desa. Luas Desa Adat Penglipuran
kurang lebih 112 ha, dengan batas wilayah Desa Adat Kubu di sebelah Timur, di
sebelah Selatan Desa Adat Gunaksa, dan di sebelah Barat tukad, sedangkan di
sebelah Utara Desa Adat Kayang. Pada areal Catus Pata yang merupakan
area batas memasuki Desa Adat Penglipuran, di sana terdapat balai desa,
fasilitas masyarakat dan ruang terbuka untuk pertamanan yang merupakan areal
selamat datang. Penglipuran mangandung makna `pangelingan putra´ yang berarti terjadi hubungan yang
sangat erat antara tugas dan tanggung jawab masyarakat dalam menjalankan
dharma agama. Penglipuran juga berarti `panglipur´ pengingat atau ingat
kepada leluhur. Desa ini merupakan salah satu kawasan
pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang teratur dari struktur desa tradisional,
perpaduan tatanan tradisional dengan banyak ruang terbuka pertamanan yang asri membuat
desa ini memiliki nuansa Bali pada dahulu kala. Penataan fisik dan struktur
desa tersebut tidak lepas dari budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Adat
Penglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun temurun. Keunggulan dari Desa
Adat Penglipuran ini dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Bali adalah bagian
depan rumah serupa dan seragam dari ujung utama desa sampai bagian hilir desa. Desa
tersusun sedemikian rapinya yang mana daerah utamanya terletak lebih tinggi dan
semakin menurun sampai ke daerah hilir. Selain bentuk depan yang sama, juga ada keseragaman
bentuk dari bahan untuk membuat rumah tersebut. Seperti bahan tanah untuk
tembok dan untuk bagian atap terbuat dari penyengker
dan bambu untuk bangunan diseluruh desa.
3.2 Saran
1.
Sebagai masyarakat Bali sudah tentunya
kita memiliki kewajiban untuk memelihara apa yang menjadi warisan dari leluhur
kita yang telah diwariskan secara turun-temurun. Jangan sampai apa yang
diwariskan oleh para leluhur hilang begitu saja ditelan oleh zaman.
2.
Ciri khas suatu desa merupakan suatu
salah satu satu potensi budaya suatu daerah. Kita harus memiliki keteguhan
untuk bisa selalu mempertahankan apa yang menjadi ciri khas desa kita di tengah
gempuran arus modernisasi.
Om Swastyastu,
BalasHapusIjin share nggih...www.panbelog.wordpress.com
Om Santih Santih Santih Om
suksma infonya :)
BalasHapusSuksma atas postingannya nggih ☺
BalasHapus