Jumat, 22 November 2013

Eksistensi Aksara Bali

AKSARA BALI; REALITAS DAN TANTANGAN MASA DEPAN

Konsep Aksara Bali
Aksara secara etimogis berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu akar kata a 'tidak' dan ksara 'termusnahkan'. Jadi, aksara adalah sesuatu yang tidak termusnahkan/kekal/langgeng, selain disebut juga huruf. Dikatakan sebagai sesuatu yang kekal, karena peranan aksara dalam mendokumentasikan dan mengabadikan suatu peristiwa komunikasi dalam bentuk tulis. Melalui aksara yang ditatah di atas batu hingga ditulis di atas daun lontar dan lempeng tembaga, kesuraman, dan kejayaan masa lalu dapat dijamah kembali dengan bukti-bukti literal. Masyarakat Bali dapat mengetahui raja-raja yang pernah bertahta dan berjaya di Bali mulai dari dinasti Warmadewa hingga dinasti Kepakisan melalui aksara yang ditulis dalam prasasti maupun karya-karya sastra, tanpa harus kembali ke masa itu.
Melalui sistem lambang grafis itulah manusia mencatatkan perkembangan peradabannya. Dengan demikian aksara menjadi bagian penting dalam kebudayaan (cultural) dan peradaban (civilitation). Karena melalui perjalanan aksara yang menembus ruang dan waktu, eksistensi masyarakat masa lampau diungkap dan seolah-olah dihadirkan kembali di masa kini. Yang pada gilirannya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanpa aksara, seluruh keagungan khasanah kultural yang mampu diciptakan manusia Bali di masa lampau akan hilang dan lenyap dimakan sang waktu. Peranan aksara atau huruf yang demikianlah menyebabkan Derrida menyatakan bahasa yang sebenarnya (the true level of language) adalah 'aksara' bukan suara.
Aksara menurut pandangan modern adalah transformasi bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk lambang atau tanda-tanda tertentu yang sedikitnya mewakili ujaran. Dengan demikian, aksara ditempatkan sebagai bahasa yang ke dua (sekunder) karena berfungsi melambangkan bahasa lisan. Dalam beberapa aksara di dunia, pandangan ini memang benar adanya. Seperti misalnya aksara Latin yang sampai saat ini mendominasi pemakaian aksara-aksara lainnya di dunia, pada kenyataannya memang berfungsi untuk melambangkan bahasa lisan. Akan tetapi, khusus untuk aksara Bali ada sedikit perbedaan yang membuatnya menjadi istimewa jika dibandingkan dengan aksara lainnya di dunia.
Aksara Bali sejatinya bukan saja sebagai lambang-lambang grafis seperti yang dinobatkan secara umum oleh pandangan masyarakat modern. Aksara Bali tidak sekedar wahana literal yang dapat mengabadikan pikiran dan perasaan penulisnya. Akan tetapi pada kenyataannya aksara ini telah melampaui fungsi utama aksara-aksara lainnya di dunia. Nilai-nilai kehidupan yang ditulis dengan aksara Bali, bukan hanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan euforia keseharian masyarakat saja, melainkan juga untuk berhubungan dengan alam transeden. Ketika itu terjadi, maka ada upaya manusia untuk menggunakan aksara sebagai sarana penguhubungnya. Tuntutan inilah yang sesungguhnya menyebabkan dalam kehidupan masyarakat Bali, aksara Bali 'sekali lagi bukan saja sebagai alat inksripsi, tetapi juga berfungsi dan berhubungan erat dengan dunia spiritual.
Aksara Bali menjadi multi fungsional, tidak hanya alat untuk menuliskan pikiran, perasaan, cerita-cerita rakyat, perjanjian, dan susastra. Akan tetapi juga menjadi lambang-lambang atau niasa kekuatan para dewa, status, senjata, organ tubuh manusia, cara menyembuhkan penyakit, dan yang lainnya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan aksara yang disebut makuta mandita ini bukan hanya berfungsi sebagai media komunikasi tulis biasa, maka dengan sendirinya ia disebut pula sebagai aksara suci dan sakti karena diyakini dapat mengantarkan kekuatan gaib dan spiritual.
Aksara Bali dengan demikian tidak hanya sebagai lambang untuk menuliskan sesuatu, tetapi juga dikembangkan menjadi bunyi (sabda) yang diyakini mampu menimbulkan dan mengantarkan kekuatan-kekuatan mistik, gaib dan spiritual di luar batas kemampuan manusia. Tentu hal ini pula yang secara sadar dan mendasar telah dipahami serta dihayati oleh para leluhur masyarakat Bali. Sehingga kemudian, para ahli membedakan aksara Bali berdasarkan fungsinya menjadi aksara biasa dan aksara suci. Simpen misalnya (1979) membedakan aksara Bali berdasarkan fungsinya menjadi tiga, yaitu (1) Wresastra; (2) Sualalita; (3) Modre. Untuk selanjutnya, Bagus (1980:9), secara jelas memasukkan aksara Wresastra dan Sualalita ke dalam aksara biasa. Serta aksara Modre dan Wijaksara ke dalam aksara suci. Adakah aksara-aksara lainnya di dunia yang membagi aksara beerdasarkan fungsinya ke dalam dua dikotomi ini?
Aksara biasa terdiri atas aksara Wresastra dan Sualalita, sedangkan aksara suci terdiri dari aksara Wijaksara/Bijaksara dan aksara Modre. Disebut sebagai 'aksara biasa' karena berfungsi untuk menuliskan masalah-masalah yang berkaitan dengan keseharian masyarakat Bali seperti diantaranya menulis urak, pipil, dan yang lainnya, sedangkan dikatakan 'aksara suci' disebabkan karena lebih banyak difungsikan untuk hal-hal yang berkaitan dengan bidang keagamaan. Bagi masyarakat Bali, aksara ini diyakini mempunyai kekuatan gaib atau religius untuk menyucikan atau membersihkan sesuatu. Aksara suci pada umumnya difungsikan sebagai sarana dalam upacara agama atau dalam pengobatan (Nala, 2005:27).
Pembagian aksara biasa dengan aksara suci ini sejatinya merefleksikan hubungan yang tarik menarik antara ranah profan dan sakral. Pembagian demikian, masih bisa dengan jelas dilihat dalam pembagian arsitektur pura, misalnya dengan membaginya menjadi Tri Mandala (tiga area). Begitu pula dalam seni tari, pembagian sakral dan profan tampak sekali dalam usaha untuk membedakan Tari Wali dengan yang bukan Tari Wali. Jika dikaitkan dengan konteks pembagian aksara Bali, dikotomi pembagian aksara biasa dan aksara suci seperti di atas, pada kenyataannya tidaklah memisahkan aksara Bali secara utuh.
Antara aksara biasa dan aksara suci bukanlah aksara yang berbeda dan sama-sama berdiri sendiri. Akan tetapi merupakan percampuran di antara keduanya. Untuk menulis masalah hidup sehari-hari misalnya, tidak seutuhnya dipergunakan aksara Wresastra, melainkan ada juga serapan aksara-aksara Sualalita. Hal ini mengingat kaitan erat serapan-serapan bahasa Jawa Kuna/Sanskerta beserta kebudayaan Hindu Jawa yang sudah sekian lama berakulturasi dengan kebudayaan Bali, disamping dalam hubungannya dengan Pasang Aksara Bali. Begitu pula dalam menuliskan aksara Wijaksara dan Modre yang menjadi bagian dari aksara suci, tetap mempergunakan aksara Wresastra dan Sualalita. Seperti dalam menuliskan Dasaksara dan Dasa Bayu. Percampuran ini sesungguhnya merefleksikan sebuah sinkritisasi inskripsi dan mistis.
Pembagian seperti ini tidak ditemukan dalam sistem keberaksaraan Latin maupun Sanskerta dan aksara-aksara lainnya. Pembagian seperti ini agaknya bertolak belakang dengan aksara Latin yang terbuka dan sampai saat ini mendominasi pemakaian bahasa tulis di seluruh dunia. Pembagian ini secara fundamental merepresentasikan aktifitas masyarakat Bali yang bukan hanya sekedar menjalankan rutinitas keseharian (sekala) akan tetapi juga aktifitas sipiritual (niskala). Maka dari itulah kemudian orang memberikan sebutan yang bermacam-macam untuk jenis aksara ini, mulai dari aksara sakti, aksara kawisesan, dan aksara wayah.
Sehubungan dengan itu, jika dikaitkan dengan konteks tujuh unsur kebudayaan universal yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, agama pada kenyataannya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap corak kehidupan masyarakat termasuk aksara yang dipergunakannya. Agama Hindu yang menjadi jiwa/roh kebudayaan Bali merupakan salah satu faktor yang menyebabkan aktifitas spiritual dengan mempergunakan aksara Bali masih tetap hidup khususnya aksara Wijaksara dan Modre. Mungkin aksara Jawa pada zaman dahulu ketika agama Hindhu masih kuat menjadi keyakinan masyarakat Jawa, aksara ini difungsikan layaknya aksara Bali di era sekarang ini. Akan tetapi faktanya, aksara Jawa kini sudah semakin tergeser oleh keberadaan aksara Arab teristimewa dalam ranah agama. Melalui aksara Wijaksara dan Modre, sesungguhnya dapat dilihat betapa besarnya perhatian masyarakat Hindu Bali sebagai pengguna bahasa Bali memiliki pengetahuan bawah sadar yang demikian kuat mengenai hal-hal yang bersifat spiritual, magis, dan mistik.
Aksara Wijaksara/Bijaksara secara etimologis berasal dari kata wija/bija (Sanskerta) yang artinya 'benih atau suku kata mistik yang merupakan bagian esensial mantra' dan aksara yang artinya 'huruf, suku kata; suku kata suci' (Zoetmulder dan Robson, 1982:1432). Jadi, aksara Wijaksara adalah bagian dari aksara suci/suku kata suci yang merupakan bagian esensial mantra. Sementara itu, Nala (2005:106) menyatakan bahwa aksara Wijaksara merupakan aksara inti (wija, bija: benih, inti) yang diyakini memiliki kekuatan kesucian, kekuatan magis, kekuatan magnetis, niskala, dan spiritual religius. Aksara Wijaksara di Bali lebih dikenal dengan nama aksara bijaksara. Karena memang pada dasarnya bunyi [b] dan [w] terletak pada titik artikulasi yang sama yaitu bilabial atau warga ostia. Maka dari itu, sering dua bunyi ini ditukarkan dalam penggunaannya, seperti kata /babi/ dan /bawi/, maupun /bali/ dan /wali/.
Kembali pada aksara Wijaksara¸dalam realisasinya aksara ini terdiri dari aksara Wresastra dan Sualalita yang ditambahkan aksara amsa atau ulu candra, kecuali aksara (ah). Aksara Wijaksara terdiri dari Ekaksara, Dwi Aksara, Tri Aksara, Pancaksara, Panca Brahma Dasaksara, Catur Dasaksara, dan Sad Dasaksara. Aksara Wijaksara lebih banyak dipergunakan dalam bidang filsafat keagamaan, tutur yang merupakan penglukun Dasaksara 'peringkasan sepuluh aksara' yang berkaitan dengan filsafat kehidupan mikrokosmos dan makrokosmos.
Bagian lain dari jenis aksara Bali yang digolongkan ke dalam aksara suci adalah aksara Modre. Aksara Modre secara etimologis berasal dari kata Mudra yang artinya 'puncak'. Jadi, aksara Modre merupakan puncak aksara Bali yang sering dipergunakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan aspek keagamaan, spiritual, dan mistik. Aksara Modre ini lebih berfungsi sebagai lambang, simbol atau niasa dibandingkan penggunaannya sebagai alat komunikasi literal (Nala, 2005:28). Aksara Modre adalah aksara yang ditutup dengan anusuara, yang sulit di baca karena memperoleh berbagai perlengkapan, busana, pengangge aksara sehingga dalam penulisannya aksara Modre terkadang tidak sesuai dengan aturan penulisan yang disebut uger-uger pasang aksara Bali. Walaupun terkadang sulit dibaca, bukan berarti upaya untuk menelusuri aksara Modre lebih jauh menjadi terhalang. Ada beberapa lontar yang mendeskripsikan cara pembacaan aksara Modre seperti Tutur Krakah, Krakah Modre, Krakah Durdhakah, dan Krakah Modre Aji Griguh.
Aksara Modre adalah aksara yang sampai saat ini masih mengandung misteri. Sebagai sebuah simbol yang harus dimaknai, aksara modre jika dilihat dari bentuknya memang memiliki ciri khas jika dibandingkan dengan jenis aksara lainnya. Perpaduan aksara Wresastra, Sualalita, dan Wijaksara yang ditambahkan dengan pengangge aksara pada beberapa tempat dan sering pula ditambahkan lukisan yang menyerupai tunjung, serta bentuk-bentuk lainnya menyebabkannya terkesan seperti kaligrafi. Penempatan pengangge aksara yang tidak biasa ini tentu tidaklah sembarangan. Hal ini disebabkan karena masyarakat Bali memiliki keyakinan, bahwa aksara-aksara tersebut merupakan simbol-simbol ke-Tuhanan (suku-suku itu memuat Tuhan: Granoka, 2010).

Aksara Bali; Realitas dan Tantangan di Masa Depan
Sepintas kita tersadar bahwa tangan-tangan kreatif para leluhur masyarakat Bali telah mewariskan peninggalan yang berharga bagi generasinya. Suatu generasi yang diharapkan mampu menorehkan tinta emas peradaban yang jauh lebih mengungguli karya-karya monumental yang pernah diciptakan para 'penglingsir terdahulu'. Tinta emas peradaban yang penuh keagungan dan bermutu hingga dapat bertahan dalam setiap dimensi zaman. Bukan sekedar sebagai juru lap warisan itu dan pasrah dengan kata mula keto sebagai tanda ketidakberdayaan. Melainkan terus berjuang dan bangkit untuk masedana kerti dan sutindih terhadap apa yang telah dimiliki. Tulisan ini tentu tidak bermaksud memarjinalkan jasa-jasa dari instansi-instansi dan orang-orang yang telah dengan sadar ikut melestarikan aksara Bali. Akan tetapi, lebih sebagai sebuah otokritik untuk membangkitkan rasa jengah yang saat ini seolah semakin hanyut terbawa pengaruh jiwa konsumerisme dan hedonisme sebagai imbas dari globalisasi.
Berbagai usaha secara konkrit dan berkala telah dilakukan oleh instansi-instansi yang berkaitan dengan eksistensi aksara Bali. Begitu pula masyarakat yang secara sadar dan perduli terhadap pelestarian dan perkembangan warisan budaya ini. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa untuk mampu bertahan (survive) dalam setiap dimensi zaman termasuk zaman globalisasi aksara Bali tidaklah mudah. Tantangan yang harus dihadapi kini, bukan saja permasalahan internal akan tetapi juga eksternal. Secara eksternal, gempuran huruf latin tanpa disadari jauh mendominasi hampir sebagian besar ranah kehidupan masyarakat Bali jika dibandingkan dengan aksara Bali. Jika pada masa Bali Kuna dan Pertengahan aksara Bali masih dipakai untuk menuliskan sebagian besar aktifitas kehidupan yang tercermin dalam prasasti-prasasti. Maka, zaman sekarang ini aksara Bali hanya hidup dalam beberapa ranah. Ranah tersebut masih sebagian besar dalam dimensi ranah yang bersifat tradisional seperti lontar, awig-awig, lukisan tradisional, maupun prasasti. Dalam ranah modern sampai saat ini masih terbatas pada penulisan nama jalan, tapal batas dan instansi-instansi resmi pemerintahan.
Jika dibandingkan dengan jumlah Instansi Swasta, tentu jumlah Instansi Pemerintahan jauh lebih sedikit. Dan di antara instansi itu juga masih banyak ditemukan tidak memakai aksara Bali. Bisa dibayangkan jika semua nama toko, rumah makan, dan perusahaan tersebut secara sadar memakai aksara Bali selain aksara Latin. Tentu generasi muda akan terbiasa melihat aksara Bali, dan tidak seperti sekarang ini yang seolah-olah hal ini menjadi milik generasi tua. Di sisi lain, generasi muda semakin dijauhkan dengan aksara mereka sendiri. Dalam ranah pendidikan yang diaharapkan menjadi ujung tombak penyelamatan aksara Bali, belum mampu menunjukkan hasil yang optimal. Apalagi diperparah dengan kondisi aksara Bali hanya sebagai muatan lokal yang tidak diujiankan pada ujian nasional. Belum lagi bagi anggapan sebagian orang yang berpikir pragmatis materialis, tentu hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat ekonomis akan jatuh gengsi dihadapan mereka.
Keterdesakan aksara Bali dari aksara-aksara lainnya perlu disadari oleh semua pihak yang masih mengharapkan aksara Bali tetap bertahan dengan segala keutamaannya. Aksara Bali yang menunjukkan tingginya peradaban masyarakat Bali pada zaman dahulu sudah semestinya dapat dipertahankan hingga sekarang dan seterusnya. Sementara itu, masalah internal yang dihadapi aksara Bali adalah menyangkut ejaan aksara Bali itu sendiri. Kendatipun upaya yang dilakukan untuk penyempurnaan ejaan aksara Bali sudah cukup optimal, akan tetapi masih menyisakan beberapa permasalahan. Kemunculan bentuk-bentuk bersaing dalam penulisan aksara Bali merupakan salah satu cerminan tingkat pengetahuan masyarakat Bali masih terbilang rendah. Bentuk bersaing yang dimaksud contohnya untuk menuliskan kata desa 'desa/wilayah' ditemukan tiga bentuk bersaing dalam penulisannya, yaitu ed ], ed s, ed [ , sedangkan untuk menulis kata arti 'makna' dijumpai tiga bersaing dalam teks-teks buku pelajaran Á( qi , h( tø , h( qi , Di sisi lain, kata laksana 'perbuatan' ada bentuk bersaing l k× x, l k× n , Dan untuk menuliskan kata gadang 'hijau' juga ditemukan dua bentuk bersaing dalam penulisannya yaitu g Œ*¾,g d*¾,.
Ada beberpa hal yang dapat ditarik dari keberadaan bentuk-bentuk bersaing ini selain tingkat pengetahuan masyarakat Bali mengenai pasang aksara Bali yang rendah. Bentuk-bentuk ini sesungguhnya merepresentasikan adanya keragu-raguan dalam penulisan aksara Bali. Untuk menuliskan kata yang secara fonetis bunyinya dapat dikatakan mirip ini mereka dihadapkan tiga atau dua pilihan aksara. Selain itu, dalam pedoman Pasang Aksara Bali pun tidak dijelaskan alasan-alasan kenapa bentuk tersebut harus memakai huruf tertentu. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat Bali yang notabenenya sebagai pendukung kebudayaan Bali semakin sulit belajar aksara Bali. Mereka dihantui rasa takut untuk menulis aksara Bali, karena pilihan ini. Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa buku-buku pedoman pasang aksara Bali juga perlu untuk memuat penjelasan mengenai masalah ini, khususnya pada Pasang Pageh. Hal ini penting, mengingat banyak kata dalam bahasa Bali yang sulit diidentifikasi apakah ia merupakan Pasang Pageh atau tidak. Dengan buku pedoman yang baik, tentu masyarakat Bali diharapkan masalah-masalah yang selama ini menjadi batu sandungan dan patologi dalam mempelajari aksara Bali dapat diminimalkan.
Tentunya sebagai masyarakat Bali, kita semua sepakat bahwa keagungan dan keutamaan yang dimiliki oleh aksara Bali harus tetap diwariskan sepanjang masa. Jika Walmiki dalam Kakawin Ramayana Sanskerta seperti yang dikutip Hoykaass dengan tegas berani meyakinkan bahwa selama gunung masih tegak berdiri, selama sungai masih mengalir di bumi, maka kisah agung Rama dan Sita akan tetap termasyur di dunia. Maka, beranikah kita menyatakan dengan tegas dan mebalik sumpah dalam diri sendiri, untuk menjaga dan mengembangkan warisan leluhur ini. Menjaga bukan dalam konteks membiarkannya stagnan dan hanya akan tersimpan dalam keropak-keropak usang yang pada akhirnya sirnah dimakan rayap. Nilai-nilainya pun akan tersimpan dalam perut si rayap tadi dan yang tersisa hanya sisa-sisa kotoran yang berupa debu. Menjaga dalam dimensi yang bersamaan juga dapat diartikan sebagai upaya untuk terus melakukan penggalian (eksplorasi) dan mempelajari secara mendalam khasanah ilmu pengetahuan yang tersimpan dalam aksara Bali. Di sisi lain juga mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bali dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era kesejagatan ini. Seperti misalnya, dengan memasukkan aksara Bali ke dalam komputer oleh I Made Swatjana. Ini sesungguhnya membawa angin segar dalam aksara Bali, karena mampu mensinergikan antara aksara Bali dengan kemajuan teknologi.
Semoga usaha-usaha seperti ini semakin terus dioptimalkan. Dan tentunya peran serta dari instansi-instansi yang memegang kebijakan semakin diperlukan. Termasuk di dalamnya jurusan Sastra Bali Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dengan usaha nyata dari semua pihak, tentu masa depan aksara Bali dapat lebih cerah jika dibandingkan aksara daerah lainnya yang sudah mengalami kepunahan. Nasib aksara Bali di masa depan sesungguhmya akan ditentukan pada upaya kita 'kini' dalam mempersiapkannya. Akhirnya, kita bertanya aksara Bali milik siapa?

Tri ring Agama Hindu

AJAHAN TRI RING AGAMA HINDU

Maosang indik ajahan Tri ring agama Hindu pastika akeh pisan. Nenten prasida jangkep kawedar. Punika mawinan, iriki jagi kawedar kawentenan ajahan Tri ring agama Hindu mangda prasida anggen pangetis, pangembon suluiring pikayunan ring ajahan Tri punika.
1.      Tri Hita Karana
Tri Hita Karana inggih punika tatiga paiketan manusa sane becik tur rahayu iriki ring jagate, minakadi:
a.    Parhyangan, inggih punika pinaka paiketan i manusa majeng ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa sane ngardi sajeroning maurip iriki ring jagate.
b.    Palemahan, inggih punika pinaka paiketan i manusa iriki ring palemahannyane.
c.    Pawongan, inggih punika pinaka paiketan i manusa majeng ring manusa sane tiosan.
2.      Tri Guna
Tri Guna inggih punika tatiga sane motama ngrangsuk ring sajeroning angga minakadinnyane ring manusa sekadi ring sor puniki.
a.    Satwam, inggih punika citta sane kaiket olih satwam, punika mawinan metu pikayun sane tulus. Sumangdane sida nyihnayang sane becik miwah sane kawon.
b.    Rajas, yening citta makehan kaiket antuk guna rajas, mawinan metu pikayun sane obah. Pikayun piniki pacang sida ngawetuang parilaksana sane kaon, minakadi lobha, moha, miwah sane tiosan.
c.    Tamas, yening citta makuwehan kaiket antuk guna tamas, niki mawinan metu kayun sane matsarya, mada, miwah sane tiosan.
3.      Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha inggih punika tetiga luirnyane sane patut kasuciang olih i manusa, minakadi:
a.    Manacika, teges ipun adicitta utawi jagat pikayun sane becik.
b.    Wacika, wacika wit saking basa Sanskerta wac  teges ipun baoos, pangandika, utawi munyi. Punika mawinan, ri tatkala mabaos utawi ngandika jejerang pisan lamakane sida antuk ngawetuang mangda nyunyur manis lan sane patut.
c.    Kayika, inggih punika laksana miwah pidabdab sane becik metu wit sangkaning manah suci ning nirmala.
4.      Tri Pramana
Tri Pramana teges ipun tetiga  kaweruhan sane kapolihang madasar antuk pratyasa, minakadi:
a.    Pratyaksa Pramana, tegesnyane kaweruhan sane kakeniang madasar antuk macacingak.
b.    Anumana Pramana, tegesnyane kaweruhan sane kakeniang madasar antuk pacutet.
c.    Sabda Pramana, tegesnyane kaweruhan sane nenten kakeniang madasar antuk macacingak miwah pacutet, kemawon kawangun antuk lengkara sane ketlataran antuk makudang-kudang kruna utawi madasar antuk sabda suci.
5.      Tri Loka
Tri Loka inggih punika tatiga buana sane wenten ring jagate sane patut kajegang tur lestariang, minakadi:
a.    Bhur Loka, tegesnyane buana ring kahuripan i manusa.
b.    Bwah Loka, tegesnyane buana ring kahuripan butha-buthi.
c.    Swah Loka, tegesnyane buana ring kahuripan para dewa.
6.      Tri Purusa
Tri Purusa teges ipun tatiga kautaman Ida Sang Hyang Widi, minakadi:
a.    Paramasiwa, Ida Sang Hyang Widhi tan sida kacarca antuk manah i manusa.
b.    Sadhasiwa,  Ida Sang Hyang Widhi pinaka  pangaripta, mamiara, miwah ngalebur.
c.    Siwa utawi Siwatma, Ida Sang Hyang Widhi wenten ring sajeroning manunggal sareng Siwatma.
7.      Tri Murti
Tri Murti teges ipun tatiga paragayan Ida Sang Hyang Widhi sane rumaga utpathi, sthiti, miwah pralina.
a.    Brahma, pinaka utpahti saktin Ida, Dewi Saraswati.
b.    Wisnu, pinaka sthiti, saktin Ida  Dewi Laksmi utawi Sri.
c.    Siwa, pinaka pamralina, saktin Ida Dewi Durga, Uma, utawi Parwati.
8.      Tri Sarira
Tri Sarira teges ipun tatiga daging angga sarira sane ngawinan i manusa sida urip ring jagate.
a.    Sthula Sarira kabaos kungkungan sane maduwe paiketan ring guna tamas. Turmaning sida kakaput antuk sakancan daging buana agunge.
b.    Suksma Sarira taler kabaos lingga sarira, teges ipun daging sarira sane utama turmaning ngurip i manusa. Kaiket antuk guna rajas sane masarira sakti kama.
c.    Antakarana Sarira, teges ipun daging sarira sane dahat mautama. Dagingnyane kaiket antuk  guna satwa sane masarira sakti dharma.
9.      Tri Sadhana
Tri Sadhana teges ipun tatiga pamargi utawi larapannia sane kanggen ngaruruh moksa.
a.    Jnana Byudreksa, teges ipun weruh ring sekancan daging tatwa agama.
b.    Indria Yoga Marga, teges ipun nenten kaiket antuk daging indria sane ngawinan sangsara.
c.    Tresna Dosa Kesaya, teges ipun sida ngicalang pikayun sane mobotan phala becik miwah kaon.
10.  Tri Aksara
Tri Aksara teges ipun tatiga aksara suci, minakadi:
a.    Ang, Brahma pinaka utpti.
b.    Ung, Wisnu pinaka sthiti.
c.    Mang, Siwa pinaka pralina.
11.  Tri Nadi
Tri Nadi inggih punika tatiga saluran sane wenten ring angga sarira.
a.    Saluran utawi pamargin ajeng-ajengan.
b.    Saluran utawi pamargin angkihan.
c.    Saluran utawi pamargin inum-inuman.
12.  Tri Rna
Tri Rna tegesnyane inggih punika tatiga utang sane kabakta olih i manusa, minakadi:
a.    Dewa Rna, tegesnyane utang ring Ida Sang Hyang Widi sane ngurip sadaging jagate.
b.    Rsi Rna, tegesnyane utang ring para Rsi sane mapaica pangaweruh sane suci.
c.    Pitra Rna, utang ring para leluhur.
13.  Tri Upaya Sandi
Tri Upaya Sandi teges ipun tatiga upaya sane kanggen tetuek  nyambungan paiketan majeng ring kramane sami. sekadi ring sor puniki.
a.    Rupa, teges ipun sang sane ngambel jagat patut nyuryanin rupa panjak utawi kramannyane, santukan semu rupa kramane nyihnayang daging pikayun sakeng karma punika. Rupa pacang nyihnayang napike karma punika ri sedeng bagia napi kasengsaran.
b.    Wangsa, teges ipun tingkatan-tingkatan kasta sane wenten ring desa pakraman, upami ipun tri wangsa.
c.    Guna, teges ipun sang sane ngambel jagat patut uning undagan pangaweruh-pangaweruhsane kauningin ring kramane.
14.  Tri Guna
Tri Guna inggih punika tatiga sane motama ngrangsuk ring sajeroning angga minakadinnyane ring manusa sekadi ring sor puniki.
a.    Satwam, inggih punika citta sane kaiket olih satwam, punika mawinan metu pikayun sane tulus. Sumangdane sida nyihnayang sane becik miwah sane kaon.
b.    Rajas, yening citta makehan kaiket antuk guna rajas, mawinan metu pikayun sane obah. Pikayun piniki pacang sida ngawetuang parilaksana sane kaon minakadi lobha, moha, miwah sane tiosan.
c.    Tamas, yening citta makuwehan kaiket antuk guna tamas, niki mawinan metu kayun sane matsarya, mada, miwah sane tiosan.
15.  Tri Pramana
Tri Pramana inggih punika tatiga bantang sane ngawentenang i manusa tur kepah dados tigang wibaga sekadi sane ring sor puniki.
a.    Idep, inggih punika pinaka bantang i manusa mangdane sida mapikayun.
b.    Sabda, inggih punika pinaka bantang i manusa sajeroning mabebaosan.
c.    Bayu, inggih punika pinaka bantang i manusa mangdane sida melaksana lan makarya.
16.  Tri Parartha
Tri Parartha tegesnyane wantah piranti sane kanggen nglimbakang pangaweruh tresna asih lan ngeseng manah dharmakara sane ngiket pikayunan.
a.    Asih, inggih punika pangaweruh mangdane i manusa neresnain sekancan sarwa maurip sane kakardi olih Ida Sang Hyang Widi Wasa. I manusa sapatutnyane ngalimbakang daging Tat Twam Asi ring sarwa maurip, mangdane ring kahuripane puniki, sida sutrepti, degdeg, lan landuh kerta raharja.
b.    Punia, inggih puniki kesujatian kayun madana puniya, sajeroning ngawangun tresna asih ring sarwa maurip.
c.    Bhakti, tresna asih sane pinih utama majeng ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, antuk ngelaksanayang bhakti tan pegat. Ingih punika ngelaksanayang yadnya nyabran rahina.
17.  Tri Guru
Sane kabaos Tri Guru iriki inggih punika tatiga komponen guru sane dados pendidik, minakadi:
a.    Guru Rupaka inggih punika sang sane maraga rerama, I aji kalih I biang utawi meme lan bapa.
b.    Guru Pangajian wantah gurune sane mapaica paplajahan ring sekolahan.
c.    Guru Wisesa inggih punika sang sane maraga pamrintah.
18.  Tri Bhoga
Tri Bhoga inggih punika tigang soroh sane kaperluang ring kahuripan, minakadi:
a.    Bhoga inggih punika ajeng-ajengan miwah inum-inuman.
b.    Upabhoga inggih punika sandang utawi busana sane kanggen sadina-dina.
c.    Paribhoga inggih punika prabot-prabot sane kaperluang ring rumah tangga.
19.  Tri Capala
Tri Capala mateges tiga kaalpakan, minakadi:
a.    Wak Capala, alpaka ring sang sane maraga rerama, i aji kalih i biang utawi meme bapa, nganggen baos. Conto marebat sane nenten manut ring sasolah sane patut makasami lempas ring tata karma.
b.    Hasta Capala, alpaka ring sang sane maraga rerama, i aji kalih i biang utawi meme bapa, nganggen tangan. Upami ngantem miwah sane lianan.
c.    Pada Capala, alpaka ring sang sane maraga rerama, i aji kalih i biang utawi meme bapa, nganggen cokor.  Conto: nendang miwah sane lianan.
20.  Tri Kahyangan
Tri Kahyangan inggih punika tatiga genah sane suci, minakadi:
a.    Pura Puseh, genah nyungsung Dewa Wisnu pinaka paragayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sane dados pamiara (sthiti).
b.    Pura Desa/Bale Agung, genah nyungsung Dewa Brahma pinaka paragayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sane dados pangripta (utpati).
c.    Pura Dalem, genah nyungsung Dewa Siwa, pinaka paragayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sane dados panglebur (pralina).
21.  Tri Nayaka
Tri Nayaka inggih punika tigang soroh olahan sane kanggen nyangkepang upacara pacaruane, minakadi:
a.    Sate lembat, olahan daging kacampuhin kelapa makikih sane kadagingin bumbu raris kapanggang.
b.    Sate Asem, sane kanggen sate asem, isin basang siap, kagetep, katusuk, raris kagoreng.
c.    Calon, sane kanggen calon inggih punika daging buron sane kanggen caru intuka ngantos alus kadagingin bumbu, raris kabentuk bunter-bunter sakadi guli, kagoreng.
22.  Tri Sandhya
Tri Sandhya inggih punika sadina-dina sembahyang ping tiga.
a.    Galah semengan rikalaning sang suryane endag.
b.    Galah lingsir rikalaning sang surya ring baduur I ragane.
c.    Galah sanja rikalaning sang surya engseb.
23.  Tri Agni
Tri Agni inggih punika tigang soroh api, minakadi:
a.    Ahawaniyagni, api  kanggen maratengan ring prantenan.
b.    Grahaspatyagni, api sane kanggen ring upacara pawiwahan sane kadadosang saksi.
c.    Citagni/Daksinagni, api sane kanggen ring pangabenan.
24.  Tri Manggala Yadnya
Tri Manggala Yadnya inggih punika makatiga komponen sane yukti-yukti penting sane nentuang antar utawi labda karya yadnyane.
a.    Sadaka, pinandita utawi sulinggih sane muputang tur nglaksanayang karya upacarane.
b.    Mancagra, srati (sane makarya banten).
c.    Yajamana, sane madrue karya.