AKSARA BALI; REALITAS DAN TANTANGAN MASA DEPAN
Konsep
Aksara Bali
Aksara secara etimogis berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu
akar kata a 'tidak' dan ksara 'termusnahkan'. Jadi, aksara
adalah sesuatu yang tidak termusnahkan/kekal/langgeng, selain disebut juga
huruf. Dikatakan sebagai sesuatu yang kekal, karena peranan aksara dalam
mendokumentasikan dan mengabadikan suatu peristiwa komunikasi dalam bentuk tulis.
Melalui aksara yang ditatah di atas batu hingga ditulis di atas daun lontar dan
lempeng tembaga, kesuraman, dan kejayaan masa lalu dapat dijamah kembali dengan
bukti-bukti literal. Masyarakat Bali dapat mengetahui raja-raja yang
pernah bertahta dan berjaya di Bali mulai dari dinasti Warmadewa hingga dinasti
Kepakisan melalui aksara yang ditulis dalam prasasti maupun karya-karya sastra,
tanpa harus kembali ke masa itu.
Melalui sistem lambang grafis itulah manusia mencatatkan
perkembangan peradabannya. Dengan demikian aksara menjadi bagian penting dalam
kebudayaan (cultural) dan peradaban (civilitation). Karena
melalui perjalanan aksara yang menembus ruang dan waktu, eksistensi masyarakat
masa lampau diungkap dan seolah-olah dihadirkan kembali di masa kini. Yang pada
gilirannya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanpa aksara,
seluruh keagungan khasanah kultural yang mampu diciptakan manusia Bali di masa
lampau akan hilang dan lenyap dimakan sang waktu. Peranan aksara atau huruf
yang demikianlah menyebabkan Derrida menyatakan bahasa yang sebenarnya (the
true level of language) adalah 'aksara' bukan suara.
Aksara menurut pandangan modern adalah transformasi
bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk lambang atau tanda-tanda tertentu yang
sedikitnya mewakili ujaran. Dengan demikian, aksara ditempatkan sebagai bahasa
yang ke dua (sekunder) karena berfungsi melambangkan bahasa lisan.
Dalam beberapa aksara di dunia, pandangan ini memang benar adanya. Seperti
misalnya aksara Latin yang sampai saat ini mendominasi pemakaian aksara-aksara
lainnya di dunia, pada kenyataannya memang berfungsi untuk melambangkan bahasa
lisan. Akan tetapi, khusus untuk aksara Bali ada sedikit perbedaan yang
membuatnya menjadi istimewa jika dibandingkan dengan aksara lainnya di dunia.
Aksara Bali sejatinya bukan saja sebagai lambang-lambang
grafis seperti yang dinobatkan secara umum oleh pandangan masyarakat modern.
Aksara Bali tidak sekedar wahana literal yang dapat mengabadikan
pikiran dan perasaan penulisnya. Akan tetapi pada kenyataannya aksara ini telah
melampaui fungsi utama aksara-aksara lainnya di dunia. Nilai-nilai kehidupan
yang ditulis dengan aksara Bali, bukan hanya menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan euforia keseharian masyarakat saja, melainkan juga untuk berhubungan
dengan alam transeden. Ketika itu terjadi, maka ada upaya manusia
untuk menggunakan aksara sebagai sarana penguhubungnya. Tuntutan inilah yang
sesungguhnya menyebabkan dalam kehidupan masyarakat Bali, aksara Bali 'sekali
lagi bukan saja sebagai alat inksripsi, tetapi juga berfungsi dan
berhubungan erat dengan dunia spiritual.
Aksara Bali menjadi multi fungsional, tidak hanya alat untuk
menuliskan pikiran, perasaan, cerita-cerita rakyat, perjanjian, dan susastra.
Akan tetapi juga menjadi lambang-lambang atau niasa kekuatan para
dewa, status, senjata, organ tubuh manusia, cara menyembuhkan penyakit, dan
yang lainnya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan aksara yang disebut makuta
mandita ini bukan hanya berfungsi sebagai media komunikasi tulis biasa,
maka dengan sendirinya ia disebut pula sebagai aksara suci dan
sakti karena diyakini dapat mengantarkan kekuatan gaib dan spiritual.
Aksara Bali dengan demikian tidak hanya sebagai lambang untuk
menuliskan sesuatu, tetapi juga dikembangkan menjadi bunyi (sabda)
yang diyakini mampu menimbulkan dan mengantarkan kekuatan-kekuatan mistik, gaib
dan spiritual di luar batas kemampuan manusia. Tentu hal ini pula yang secara
sadar dan mendasar telah dipahami serta dihayati oleh para leluhur masyarakat
Bali. Sehingga kemudian, para ahli membedakan aksara Bali berdasarkan fungsinya
menjadi aksara biasa dan aksara suci. Simpen misalnya (1979) membedakan aksara
Bali berdasarkan fungsinya menjadi tiga, yaitu (1) Wresastra; (2) Sualalita;
(3) Modre. Untuk selanjutnya, Bagus (1980:9), secara jelas
memasukkan aksara Wresastra dan Sualalita ke dalam aksara
biasa. Serta aksara Modre dan Wijaksara ke dalam aksara suci.
Adakah aksara-aksara lainnya di dunia yang membagi aksara beerdasarkan
fungsinya ke dalam dua dikotomi ini?
Aksara biasa terdiri atas aksara Wresastra dan Sualalita, sedangkan
aksara suci terdiri dari aksara Wijaksara/Bijaksara dan aksara Modre.
Disebut sebagai 'aksara biasa' karena berfungsi untuk menuliskan
masalah-masalah yang berkaitan dengan keseharian masyarakat Bali seperti
diantaranya menulis urak, pipil, dan yang lainnya, sedangkan dikatakan 'aksara
suci' disebabkan karena lebih banyak difungsikan untuk hal-hal yang berkaitan
dengan bidang keagamaan. Bagi masyarakat Bali, aksara ini diyakini mempunyai
kekuatan gaib atau religius untuk menyucikan atau membersihkan sesuatu. Aksara
suci pada umumnya difungsikan sebagai sarana dalam upacara agama atau dalam
pengobatan (Nala, 2005:27).
Pembagian aksara biasa dengan aksara suci ini sejatinya
merefleksikan hubungan yang tarik menarik antara ranah profan dan sakral.
Pembagian demikian, masih bisa dengan jelas dilihat dalam pembagian arsitektur
pura, misalnya dengan membaginya menjadi Tri Mandala (tiga area).
Begitu pula dalam seni tari, pembagian sakral dan profan tampak sekali dalam
usaha untuk membedakan Tari Wali dengan yang bukan Tari Wali.
Jika dikaitkan dengan konteks pembagian aksara Bali, dikotomi pembagian aksara
biasa dan aksara suci seperti di atas, pada kenyataannya tidaklah memisahkan
aksara Bali secara utuh.
Antara aksara biasa dan aksara suci bukanlah aksara yang
berbeda dan sama-sama berdiri sendiri. Akan tetapi merupakan percampuran di
antara keduanya. Untuk menulis masalah hidup sehari-hari misalnya, tidak
seutuhnya dipergunakan aksara Wresastra, melainkan ada juga serapan
aksara-aksara Sualalita. Hal ini mengingat kaitan erat serapan-serapan
bahasa Jawa Kuna/Sanskerta beserta kebudayaan Hindu Jawa yang sudah sekian lama
berakulturasi dengan kebudayaan Bali, disamping dalam hubungannya dengan Pasang
Aksara Bali. Begitu pula dalam menuliskan aksara Wijaksara dan Modre
yang menjadi bagian dari aksara suci, tetap mempergunakan aksara Wresastra dan
Sualalita. Seperti dalam menuliskan Dasaksara dan Dasa Bayu.
Percampuran ini sesungguhnya merefleksikan sebuah sinkritisasi inskripsi dan
mistis.
Pembagian seperti ini tidak ditemukan dalam sistem
keberaksaraan Latin maupun Sanskerta dan aksara-aksara lainnya. Pembagian seperti
ini agaknya bertolak belakang dengan aksara Latin yang terbuka dan sampai saat
ini mendominasi pemakaian bahasa tulis di seluruh dunia. Pembagian ini secara
fundamental merepresentasikan aktifitas masyarakat Bali yang bukan hanya
sekedar menjalankan rutinitas keseharian (sekala) akan tetapi juga
aktifitas sipiritual (niskala). Maka dari itulah kemudian orang
memberikan sebutan yang bermacam-macam untuk jenis aksara ini, mulai dari
aksara sakti, aksara kawisesan, dan aksara wayah.
Sehubungan dengan itu, jika dikaitkan dengan konteks tujuh
unsur kebudayaan universal yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, agama pada
kenyataannya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap corak kehidupan
masyarakat termasuk aksara yang dipergunakannya. Agama Hindu yang menjadi
jiwa/roh kebudayaan Bali merupakan salah satu faktor yang menyebabkan aktifitas
spiritual dengan mempergunakan aksara Bali masih tetap hidup khususnya aksara Wijaksara
dan Modre. Mungkin aksara Jawa pada zaman dahulu ketika agama Hindhu
masih kuat menjadi keyakinan masyarakat Jawa, aksara ini difungsikan layaknya
aksara Bali di era sekarang ini. Akan tetapi faktanya, aksara Jawa kini sudah
semakin tergeser oleh keberadaan aksara Arab teristimewa dalam ranah agama.
Melalui aksara Wijaksara dan Modre, sesungguhnya dapat dilihat
betapa besarnya perhatian masyarakat Hindu Bali sebagai pengguna bahasa Bali
memiliki pengetahuan bawah sadar yang demikian kuat mengenai hal-hal yang
bersifat spiritual, magis, dan mistik.
Aksara Wijaksara/Bijaksara secara etimologis berasal
dari kata wija/bija (Sanskerta) yang artinya 'benih atau suku kata
mistik yang merupakan bagian esensial mantra' dan aksara yang artinya
'huruf, suku kata; suku kata suci' (Zoetmulder dan Robson, 1982:1432). Jadi,
aksara Wijaksara adalah bagian dari aksara suci/suku kata suci yang
merupakan bagian esensial mantra. Sementara itu, Nala (2005:106) menyatakan
bahwa aksara Wijaksara merupakan aksara inti (wija, bija: benih,
inti) yang diyakini memiliki kekuatan kesucian, kekuatan magis, kekuatan
magnetis, niskala, dan spiritual religius. Aksara Wijaksara di
Bali lebih dikenal dengan nama aksara bijaksara. Karena memang pada
dasarnya bunyi [b]
dan [w] terletak pada titik artikulasi yang sama yaitu bilabial atau
warga ostia. Maka dari itu, sering dua bunyi ini ditukarkan dalam
penggunaannya, seperti kata /babi/ dan /bawi/, maupun /bali/
dan /wali/.
Kembali pada aksara Wijaksara¸dalam realisasinya
aksara ini terdiri dari aksara Wresastra dan Sualalita yang
ditambahkan aksara amsa atau ulu candra, kecuali aksara (ah). Aksara Wijaksara terdiri
dari Ekaksara, Dwi Aksara,
Tri Aksara, Pancaksara, Panca Brahma Dasaksara, Catur Dasaksara, dan Sad Dasaksara. Aksara Wijaksara lebih
banyak dipergunakan dalam bidang filsafat keagamaan, tutur yang merupakan penglukun
Dasaksara 'peringkasan sepuluh aksara' yang berkaitan dengan filsafat
kehidupan mikrokosmos dan makrokosmos.
Bagian lain dari jenis aksara Bali yang digolongkan ke dalam
aksara suci adalah aksara Modre. Aksara Modre secara
etimologis berasal dari kata Mudra yang artinya 'puncak'. Jadi, aksara
Modre merupakan puncak aksara Bali
yang sering dipergunakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan aspek keagamaan,
spiritual, dan mistik. Aksara Modre ini
lebih berfungsi sebagai lambang, simbol atau niasa dibandingkan
penggunaannya sebagai alat komunikasi literal (Nala, 2005:28). Aksara Modre
adalah aksara yang ditutup dengan anusuara, yang sulit di baca karena
memperoleh berbagai perlengkapan, busana, pengangge aksara sehingga
dalam penulisannya aksara Modre
terkadang tidak sesuai dengan aturan penulisan yang disebut uger-uger
pasang aksara Bali. Walaupun terkadang sulit dibaca, bukan berarti upaya
untuk menelusuri aksara Modre lebih jauh menjadi terhalang. Ada
beberapa lontar yang mendeskripsikan
cara pembacaan aksara Modre seperti Tutur Krakah, Krakah Modre, Krakah Durdhakah, dan Krakah
Modre Aji Griguh.
Aksara Modre adalah aksara yang sampai saat ini
masih mengandung misteri. Sebagai sebuah simbol yang harus dimaknai, aksara
modre jika dilihat dari bentuknya memang memiliki ciri khas jika dibandingkan
dengan jenis aksara lainnya. Perpaduan aksara Wresastra, Sualalita, dan Wijaksara yang ditambahkan
dengan pengangge aksara pada beberapa
tempat dan sering pula ditambahkan lukisan yang menyerupai tunjung, serta
bentuk-bentuk lainnya menyebabkannya terkesan seperti kaligrafi. Penempatan
pengangge aksara yang tidak biasa ini
tentu tidaklah sembarangan. Hal ini disebabkan karena masyarakat Bali memiliki
keyakinan, bahwa aksara-aksara tersebut merupakan simbol-simbol ke-Tuhanan (suku-suku
itu memuat Tuhan: Granoka, 2010).
Aksara
Bali; Realitas dan Tantangan di Masa Depan
Sepintas kita tersadar bahwa tangan-tangan kreatif para
leluhur masyarakat Bali telah mewariskan peninggalan yang berharga bagi
generasinya. Suatu generasi yang diharapkan mampu menorehkan tinta emas
peradaban yang jauh lebih mengungguli karya-karya monumental yang pernah
diciptakan para 'penglingsir terdahulu'. Tinta emas peradaban yang
penuh keagungan dan bermutu hingga dapat bertahan dalam setiap dimensi zaman.
Bukan sekedar sebagai juru lap warisan itu dan pasrah dengan kata mula
keto sebagai tanda ketidakberdayaan. Melainkan terus berjuang dan bangkit
untuk masedana kerti dan sutindih terhadap apa yang telah
dimiliki. Tulisan ini tentu tidak bermaksud memarjinalkan jasa-jasa dari
instansi-instansi dan orang-orang yang telah dengan sadar ikut melestarikan
aksara Bali. Akan tetapi, lebih sebagai sebuah otokritik untuk membangkitkan
rasa jengah yang saat ini seolah semakin hanyut terbawa pengaruh jiwa
konsumerisme dan hedonisme sebagai imbas dari globalisasi.
Berbagai usaha secara konkrit dan berkala telah dilakukan
oleh instansi-instansi yang berkaitan dengan eksistensi aksara Bali. Begitu
pula masyarakat yang secara sadar dan perduli terhadap pelestarian dan
perkembangan warisan budaya ini. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa untuk
mampu bertahan (survive) dalam setiap dimensi zaman termasuk zaman
globalisasi aksara Bali tidaklah mudah. Tantangan yang harus dihadapi kini,
bukan saja permasalahan internal akan tetapi juga eksternal. Secara eksternal,
gempuran huruf latin tanpa disadari jauh mendominasi hampir sebagian besar
ranah kehidupan masyarakat Bali jika dibandingkan dengan aksara Bali. Jika pada
masa Bali Kuna dan Pertengahan aksara Bali masih dipakai untuk menuliskan
sebagian besar aktifitas kehidupan yang tercermin dalam prasasti-prasasti.
Maka, zaman sekarang ini aksara Bali hanya hidup dalam beberapa ranah. Ranah
tersebut masih sebagian besar dalam dimensi ranah yang bersifat tradisional
seperti lontar, awig-awig, lukisan tradisional, maupun prasasti. Dalam
ranah modern sampai saat ini masih terbatas pada penulisan nama jalan, tapal
batas dan instansi-instansi resmi pemerintahan.
Jika dibandingkan dengan jumlah Instansi Swasta, tentu jumlah
Instansi Pemerintahan jauh lebih sedikit. Dan di antara instansi itu juga masih
banyak ditemukan tidak memakai aksara Bali. Bisa dibayangkan jika semua nama
toko, rumah makan, dan perusahaan tersebut secara sadar memakai aksara Bali
selain aksara Latin. Tentu generasi muda akan terbiasa melihat aksara Bali, dan
tidak seperti sekarang ini yang seolah-olah hal ini menjadi milik generasi tua.
Di sisi lain, generasi muda semakin dijauhkan dengan aksara mereka sendiri.
Dalam ranah pendidikan yang diaharapkan menjadi ujung tombak penyelamatan
aksara Bali, belum mampu menunjukkan hasil yang optimal. Apalagi diperparah
dengan kondisi aksara Bali hanya sebagai muatan lokal yang tidak diujiankan
pada ujian nasional. Belum lagi bagi anggapan sebagian orang yang berpikir
pragmatis materialis, tentu hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat ekonomis
akan jatuh gengsi dihadapan mereka.
Keterdesakan aksara Bali dari aksara-aksara lainnya perlu
disadari oleh semua pihak yang masih mengharapkan aksara Bali tetap bertahan
dengan segala keutamaannya. Aksara Bali yang menunjukkan tingginya peradaban
masyarakat Bali pada zaman dahulu sudah semestinya dapat dipertahankan hingga
sekarang dan seterusnya. Sementara itu, masalah internal yang dihadapi aksara
Bali adalah menyangkut ejaan aksara Bali itu sendiri. Kendatipun upaya yang
dilakukan untuk penyempurnaan ejaan aksara Bali sudah cukup optimal, akan
tetapi masih menyisakan beberapa permasalahan. Kemunculan bentuk-bentuk
bersaing dalam penulisan aksara Bali merupakan salah satu cerminan tingkat
pengetahuan masyarakat Bali masih terbilang rendah. Bentuk bersaing yang
dimaksud contohnya untuk menuliskan kata desa 'desa/wilayah' ditemukan
tiga bentuk bersaing dalam penulisannya, yaitu ed
], ed s, ed [ , sedangkan untuk menulis kata arti 'makna'
dijumpai tiga bersaing dalam teks-teks buku pelajaran Á( qi , h( tø , h( qi , Di sisi lain,
kata laksana 'perbuatan' ada bentuk bersaing l k× x, l k× n , Dan untuk menuliskan
kata gadang 'hijau' juga ditemukan dua bentuk bersaing dalam
penulisannya yaitu g
Œ*¾,g d*¾,.
Ada beberpa hal yang dapat ditarik dari keberadaan
bentuk-bentuk bersaing ini selain tingkat pengetahuan masyarakat Bali mengenai
pasang aksara Bali yang rendah. Bentuk-bentuk ini sesungguhnya
merepresentasikan adanya keragu-raguan dalam penulisan aksara Bali. Untuk
menuliskan kata yang secara fonetis bunyinya dapat dikatakan mirip ini mereka
dihadapkan tiga atau dua pilihan aksara. Selain itu, dalam pedoman Pasang
Aksara Bali pun tidak dijelaskan alasan-alasan kenapa bentuk tersebut
harus memakai huruf tertentu. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan
masyarakat Bali yang notabenenya sebagai pendukung kebudayaan Bali semakin
sulit belajar aksara Bali. Mereka dihantui rasa takut untuk menulis aksara
Bali, karena pilihan ini. Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa buku-buku
pedoman pasang aksara Bali juga perlu untuk memuat penjelasan mengenai masalah
ini, khususnya pada Pasang Pageh. Hal ini penting, mengingat banyak
kata dalam bahasa Bali yang sulit diidentifikasi apakah ia merupakan Pasang
Pageh atau tidak. Dengan buku pedoman yang baik, tentu masyarakat Bali
diharapkan masalah-masalah yang selama ini menjadi batu sandungan dan patologi
dalam mempelajari aksara Bali dapat diminimalkan.
Tentunya sebagai masyarakat Bali, kita semua sepakat bahwa
keagungan dan keutamaan yang dimiliki oleh aksara Bali harus tetap diwariskan
sepanjang masa. Jika Walmiki dalam Kakawin Ramayana Sanskerta seperti yang
dikutip Hoykaass dengan tegas berani meyakinkan bahwa selama gunung masih
tegak berdiri,
selama sungai masih mengalir di bumi, maka kisah agung Rama dan Sita
akan tetap termasyur di dunia. Maka, beranikah kita menyatakan dengan
tegas dan mebalik sumpah dalam diri sendiri, untuk menjaga dan
mengembangkan warisan leluhur ini. Menjaga bukan dalam konteks membiarkannya
stagnan dan hanya akan tersimpan dalam keropak-keropak usang yang pada akhirnya
sirnah dimakan rayap. Nilai-nilainya pun akan tersimpan dalam perut si rayap
tadi dan yang tersisa hanya sisa-sisa kotoran yang berupa debu. Menjaga dalam
dimensi yang bersamaan juga dapat diartikan sebagai upaya untuk terus melakukan
penggalian (eksplorasi) dan mempelajari secara mendalam khasanah ilmu
pengetahuan yang tersimpan dalam aksara Bali. Di sisi lain juga
mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bali dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di era kesejagatan ini. Seperti misalnya, dengan
memasukkan aksara Bali ke dalam komputer oleh I Made Swatjana. Ini sesungguhnya
membawa angin segar dalam aksara Bali, karena mampu mensinergikan antara aksara
Bali dengan kemajuan teknologi.
Semoga usaha-usaha seperti ini semakin terus dioptimalkan.
Dan tentunya peran serta dari instansi-instansi yang memegang kebijakan semakin
diperlukan. Termasuk di dalamnya jurusan Sastra Bali Fakultas Sastra
Universitas Udayana. Dengan usaha nyata dari semua pihak, tentu masa depan
aksara Bali dapat lebih cerah jika dibandingkan aksara daerah lainnya yang
sudah mengalami kepunahan. Nasib aksara Bali di masa depan sesungguhmya akan
ditentukan pada upaya kita 'kini' dalam mempersiapkannya. Akhirnya, kita
bertanya aksara Bali milik siapa?