KEMAMPUAN MENEMBANGKAN
PUPUH GINADA PAKANG RARAS
OLEH SISWA KELAS
XI SMA NEGERI 8 DENPASAR
TAHUN PELAJARAN
2011/2012
SKRIPSI

Oleh:
NI NYOMAN
TOYANTARI
2008.II.2.0057
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DAN DAERAH
BIDANG ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA BALI
FAKULTAS
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI BALI
DENPASAR
ABSTRAK
KEMAMPUAN
MENEMBANGKAN PUPUH GINADA PAKANG RARAS OLEH
SISWA KELAS XI SMA NEGERI 8 DENPASAR TAHUN PELAJARAN 2011/2012
Ni Nyoman Toyantari, NIM 2008.II.2.0057, 2012, 86 halaman
Pupuh
merupakan
bagian dari kesusastraan tembang Tradisional
Bali sekaligus sebagai bagian dari kebudayaan Bali yang menjadi salah satu tradisi dan berperan
penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Oleh karena itu, keberadaan pupuh harus dijaga kelestariannya oleh
generasi muda agar nantinya tetap dapat tumbuh, berkembang, dan lestari. Namun
saat ini, perkembangan pupuh
mengalami kondisi yang memprihatinkan, khususnya di kalangan generasi muda
karena kurangnya minat, perhatian, dan pemahaman generasi dalam mempelajari pupuh.
Masalah yang dibahas dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah kemampuan siswa dan kesulitan yang dialami
oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam
menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras.
Secara praktis manfaat penelitian ini adalah (1) untuk meningkatkan motivasi
siswa belajar matembang, (2) dapat
digunakan sebagai acuan oleh guru dalam pembelajaran, (3) dapat dijadikan
sebagai acuan oleh penyusun materi ajar bahasa Bali, dan (4) dapat digunakan
sebagai pedoman dalam penyusunan kurikulum bahasa Bali.
Sebagai landasan karangka berpikir
dan untuk menunjang penelitian ini, digunakan sejumlah teori yang relevan
dengan objek kajian peneliti, diantaranya: (1) kesusastraan Bali, (2) tembang, (3) pupuh, (4) Pupuh Ginada,
(5) Pupuh Ginada Pakang Raras, (6)
aspek penilaian dalam pupuh, (7)
apresiasi sastra, dan (8) apresiasi Pupuh
Ginada Pakang Raras.
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah (1) metode penentuan subjek penelitian, (2) metode
pendekatan subjek penelitian, (3) metode pengumpulan data, dan (4) metode pengolahan
data. Dalam penentuan subjek penelitian digunakan sampel sebanyak 368 orang.
Metode pendekatan sampel penelitian yang digunakan adalah metode empiris. Untuk
mengumpulkan data digunakan metode tes, observasi, kuesioner, dan wawancara.
Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan metode statistik
deskriptif.
Hasil penelitian menunjukan, (1) Kemampuan
Menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh
Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012 adalah baik
dengan nilai rata-rata skor standar 75, (2) Kesulitan-kesulitan yang dihadapi
oleh siswa lebih banyak terlihat dalam aspek reng dan suara.
Sehubungan dengan simpulan tersebut
saran yang dapat dikemukan yakni: (1) siswa harus lebih banyak belajar dan berlatih
matembang, (2) dalam mengajar guru
hendaknya lebih bersikap inovatif, (3) guru harus banyak memberikan
pelatihan-pelatihan matembang, dan
(4) guru dalam mengajarkan tembang seharusnya
dari konsep dasar, yakni titi laras
tembang.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pulau Bali merupakan
salah satu pulau yang dimiliki oleh Negara Indonesia yang kaya akan warisan karya
sastra. Karya sastra tersebut memiliki nilai-nilai luhur dan adiluhung yang
telah hidup dalam masyarakat Bali sejak masa lampau. Bentuk-bentuk karya sastra
Bali itu sendiri sangat beragam yang dapat ditinjau dari beberapa hal, baik
dari segi bahasa yang digunakan, struktur penulisannya, cara atau tradisi
penyampaiannya, dan berdasarkan sejarah perkembangannya. Himpunan-himpunan
bentuk karya sastra Bali yang beragam tersebut kemudian disebut dengan istilah
kesusastraan Bali (Wisnu, 2005:8). Jadi
dapat disimpulkan bahwa, kesusastraan Bali adalah himpunan dari karya-karya
sastra yang berbahasa Bali, baik bahasa Bali Tengahan maupun bahasa Bali Anyar
yang menjadi salah satu khazanah budaya Bali, merupakan warisan dari para
leluhur secara turun temurun sejak zaman dahulu dan hingga saat ini dilestarikan
keberadaannya. Kesusastraan Bali sebagai salah satu pendukung dari kebudayaan
Bali merupakan cerminan dari pola kehidupan masyarakat Bali yang berlandaskan
adat-istiadat yang kuat serta bersumber pada agama Hindu.
Bentuk-bentuk kesusastraan
Bali dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu (1) berdasarkan bahasa yang digunakan,
kesusastraan Bali terbagi menjadi 3, yaitu (a) kesusastraan yang menggunakan
bahasa Bali; (b) kesusastraan yang menggunakan bahasa Jawa Kuna; (c) kesusastraan
yang menggunakan bahasa Bali/Jawa Tengahan; (2) berdasarkan cara penyampaian, kesusastraan
Bali dibagi menjadi 2, yaitu (a) kesusastraan Bali Tutur/Lisan dan (b) kesusastraan Bali Sasuratan/Tulisan;
(3) berdasarkan pada masa keberadaannya, kesusastraan Bali terbagi menjadi 2,
yaitu (a) kesusatraan Bali Tradisional/Purwa
dan (b) kesusastraan Bali Modern/Anyar;
(4) berdasarkan bentuknya,
kesusatraan Bali dibagi menjadi 2, yaitu (a) kesusastraan Bali yang berbentuk gancaran/prosa dan (b) kesusastraan Bali
yang berbentuk tembang/puisi.
Selanjutnya, kesusastraan yang berbentuk tembang
di Bali disebut dengan sekar. Sekar ini dibagi lagi menjadi beberapa bentuk yaitu,
Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madya,
dan Sekar Agung. Sekar Rare ini berbentuk lagu, seperti:
lagu Guak Maling Taluh, Meong-meong, Juru
Pencar, Gending Janger, dan Gending
Sanghyang. Dan Sekar Alit berbentuk
pupuh, Sekar Madya berbentuk kidung serta Sekar Agung berbentuk kakawin
(Nukanaya, dkk, 2005:12).
Sekar
Alit yang berupa pupuh, jika dilihat dari bentuk-bentuk
kesusastraan Bali, yaitu
(1)
dilihat dari segi bahasa yang digunakan, pupuh
merupakan kesusastraan Bali yang
mengunakan bahasa Bali; (2) dilihat dari segi cara penyampaiannya, pupuh merupakan kesusastraan Bali Tutur/Lisan; (3) dilihat dari masa
keberadaannya, pupuh merupakan kesusastraan
Bali Purwa/Tradisional; (4) dilihat
dari segi bentuknya, pupuh merupakan
kesusastraan Bali yang berbentuk tembang/puisi.
Pupuh
adalah
sebuah karya sastra tradisional yang berbentuk lagu dan terikat oleh aturan padalingsa. Secara umum pupuh yang ada di Bali terdiri dari
sepuluh jenis, di antaranya: (1) Pupuh
Maskumambang; (2) Pupuh Ginanti;
(3) Pupuh
Durma; (4) Pupuh
Dandang Gula; (5) Pupuh Sinom;
(6) Pupuh
Semarandana; (7) Pupuh Mijil;
(8) Pupuh
Pucung; (9) Pupuh Pangkur;
(10) Pupuh
Ginada (Nukanaya, dkk, 2005:10). Semua jenis-jenis pupuh tersebut memiliki pembagian dan karakteristiknya
masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, antara Pupuh Pucung dan Pupuh Ginada memiliki karakter tembang
yang berbeda. Pupuh Pucung
memiliki karakter tembang yang
melukiskan kesenangan, sedangkan Pupuh
Ginada memiliki karakter tembang yang
melukiskan kesedihan dan kekecewaan, tetapi terdapat juga Pupuh Ginada yang melukiskan kegembiraan dan perdamaian. Pupuh Ginada berdasarkan titi
larasnya dibedakan atas tujuh jenis, yaitu (1) Pupuh Ginada Lumrah/Dasar;
(2) Pupuh Ginada Jayaprana; (3) Pupuh
Ginada Bungkling/Eman-eman; (4) Pupuh Ginada Candrawati; (5) Pupuh
Ginada Basur; (6) Pupuh Ginada Pakang
Raras; (7) Pupuh Ginada Bagus Umbara;
(8) Pupuh Ginada Linggar Petak (Nukanaya
dkk, 2005:12).
Menembangkan pupuh merupakan salah satu tradisi di
Bali yang merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam
kehidupan beragama. Dalam setiap upacara keagamaan di Bali, tembang
selalu
hadir di dalamnya sebagai suatu pelengkap atau pendukung yang harus ada dalam
upacara agama. Suatu upacara akan terasa
inang (sepi) dan tidak lengkap jika
tidak diiringi suatu tembang baik Sekar Alit
yang berupa pupuh, Sekar Madia
yang berupa kidung, maupun Sekar Agung
yang berupa kakawin.
Melihat fungsi dari
suatu tembang seperti yang telah
diuraikan di atas, maka dapat dikatakan keberadaan salah satu bentuk tembang, yaitu pupuh sampai saat ini masih hidup dan berkembang serta masih dipakai sebagai sarana untuk
mendukung upacara agama di Bali. Dalam perkembangannya, kesusastraan tembang di Bali disebut dengan dharmagita. Suarka (2009:4), mengatakan dharmagita adalah suatu nyanyian
kebenaran, nyanyian keadilan yang dinyanyikan dalam pelaksanaan upacara agama
Hindu. Dharmagita sangat berperan
dalam kegiatan upacara agama sebagai pencurahan perasaan bakti dan pembimbing
pikiran menuju suatu kebenaran. Hal ini dikarenakan dharmagita mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, dan
pelukisan kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya. Dengan memperhatikan kedudukan
dharmagita sebagai bagian dari budaya
Bali yang berperan penting dalam kehidupan umat Hindu, maka transformasi dharmagita kepada generasi muda sangat
perlu dilakukan sejak dini. Dalam rangka transformasi atau pewarisan tersebut
diperlukan cara-cara tertentu, sehingga dharmagita
tetap dapat tumbuh, berkembang,
dan lestari. Hal tersebut juga
didukung oleh Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Bali No. 3 Tahun 1992 yang
menghimbau pelestarian bahasa, aksara,
dan kesusastraan Bali (Gautama, 2006:6).
Di tengah gempuran arus
modernisasi saat ini, kesusastraan tembang
di
Bali, khususnya pupuh mengalami
kondisi yang cukup memprihatinkan. Hingga saat ini pupuh kurang mendapatkan perhatian dari kalangan generasi muda di
Bali mengingat banyaknya tradisi atau budaya barat yang masuk ke Indonesia,
khususnya ke Bali. Hal ini dapat dilihat dari para generasi muda yang lebih
banyak dan lebih cenderung tertarik melantunkan lagu-lagu modern masa kini dibandingkan
melantunkan tembang tradisional Bali,
yaitu pupuh. Lebih-lebih untuk
melantunkannya, untuk mengenal bentuk pupuh
saja mereka kurang berminat, sehingga secara kuantitas sedikit sekali generasi
muda di Bali yang bisa menembangkan tembang
tradisional Bali yang berupa pupuh. Selain
itu juga, dapat dilihat dari sedikitnya ditemukan sekaa pasantian
(sebuah kelompok yang beranggotakan orang-orang pencinta seni suara dan seni
sastra bali klasik) di Bali yang beranggotakan
anak-anak muda. Di dalam sekaa pasantian inilah
seharusnya sebagai wadah generasi muda untuk mempelajari dan mendalami sastra tembang atau bentuk-bentuk sastra Bali tradisional
lainnya, sehingga tembang tradisional
Bali dapat tumbuh, berkembang, dan lestari. Tetapi, justru sekaa pasantian
saat ini kebanyakan beranggotakan orang-orang yang sudah tua dan yang mampu menembangkan
tembang Bali tradisional baik yang berbentuk kakawin, kidung, geguritan, maupun
pupuh. Seharusnya, dalam hal
pelestarian budaya Bali, khususnya dalam kesusastraan tembang generasi muda memiliki peranan penting karena bagaimanapun
juga keberadaan dan kelestarian budaya Bali kelak ada di tangan generasi muda. Entah
bagaimana kelak keberadaan dan kelestarian kesusastraan tembang tanpa didukung oleh para generasi muda. Salah satu penyebab
dari beberapa masalah yang dihadapi oleh sastra tembang tersebut adalah kurangnya minat generasi muda mempelajari tembang tradisional Bali khususnya yang
berbentuk pupuh. Kurangnya minat
siswa di dalam belajar menembangkan pupuh
disebabkan karena banyaknya siswa yang beranggapan bahwa belajar menembangkan pupuh sangat sulit dan membutuhkan suara
yang bagus serta dianggap sesuatu yang kuna. Oleh sebab itu, tembang tradisional Bali kurang
mendapatkan tempat di hati para genersai muda, yang dalam hal ini adalah siswa.
Melihat keadaan sastra tembang yang seperti itu, maka muncul
kekhawatiran dari berbagai kalangan akan keberadaan dan kelestarian budaya
Bali, khususnya sastra tembang
mengingat pelestarian sastra tembang
hanya dilakoni oleh orang-orang tua saja. Dalam hal ini, pemerintah ataupun
lembaga-lembaga tertentu mengambil suatu cara untuk melestarikan budaya Bali
dengan jalan mengadakan perlombaan-perlombaan nyastra yang salah satu lombanya adalah macapat. Tetapi, cara tersebut tidak terlalu menunjukan
keefektifannya sebagai jalan untuk melestarikan sastra tembang tradisional Bali. Maka dari itu, Pemerintah Daerah mengambil
langkah lain, yaitu dengan memasukan pelajaran matembang dalam mata pelajaran muatan lokal baik di tingkat Sekolah
Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang
wajib diikuti oleh semua siswa. Siswa diharapkan dapat menguasai tembang/pupuh-pupuh. Dalam hal ini, guru
sangat memegang peranan penting dalam mengajarkan para siswa belajar matembang, dimana diperlukan adanya suatu penggunaan
metode pengajaran yang tepat. Artinya, dalam belajar matembang guru hendaknya
mampu memilih metode pengajaran yang tepat dan mengkombinasikan beberapa metode
pengajaran yang ada agar mampu menarik minat para siswa untuk belajar matembang dan menumbuhkan rasa senang
para siswa dalam belajar matembang.
Berpijak dari uraian di
atas, maka dalam penelitian ini penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
mengenai kemampuan siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI dalam menembangkan
Pupuh Ginada
Pakang Raras. Dipilihnya Pupuh Ginada Pakang Raras
karena (1) dari beberapa penelitian tentang
Pupuh
Ginada, Pupuh
Ginada Pakang Raras belum ada yang meneliti; (2) Pupuh Ginada Pakang Raras
sudah sesuai dengan materi pelajaran matembang
di tingat Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI; (3) penulis ingin mengetahui tingkat
perhatian siswa turut serta dalam pelestarian sastra tembang, khususnya pupuh di tengah gempuran arus
modernisasi saat ini. Penelitian ini
penting dilakukan karena melihat banyaknya masalah atau kendala-kendala yang
dihadapi dalam rangka melestarikan sastra tembang
tradisional Bali,
dimana terjadi kesenjangan antara apa yang diharapkan oleh kalangan-kalangan
tertentu dalam hal pelestarian sastra tembang
tradisional Bali dengan kenyataan dilapangan yang terjadi sekarang ini.
Kesenjangan juga terjadi antara kenyataan di lapangan dengan kurikulum muatan
lokal bahasa Bali yang salah satu indikatornya pada menyimak pupuh adalah siswa mampu menembangkan pupuh melalui kegiatan menyimak. Masalah-masalah
tersebut harus dicarikan solusi melalui penelitian ilmiah agar tembang tradisional Bali tidak dilupakan
dan tersingkir oleh zaman. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat
memupuk dan membina minat siswa dalam hal matembang
karena jika mendalami seni tembang akan
dapat memberikan nilai positif bagi kehidupan melalui ajaran etika dan moral
yang terdapat di dalamnya. Maka dari
itu, dalam penelitian ini penulis meneliti permasalahan yang berjudul “Kemampuan
Menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh
Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012”.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah pokok
yang akan menjadi bahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah
kemampuan menembangkan Pupuh
Ginada Pakang Raras oleh
siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2011/2012?
2. Apa
sajakah
kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah di atas,
adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus.
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum penelitian
ini penulis lakukan untuk menginformasikan bentuk- bentuk kesusastraan Bali
kepada masyarakat luas, sehingga nantinya dapat menambah pemahaman dan memupuk kecintaan
masyarakat Bali terhadap kesusastraan Bali, khususnya kesusastraan tembang berupa pupuh, yaitu Pupuh Ginada Pakang Raras yang
merupakan salah satu pendukung dari kebudayaan Bali sekaligus kebudayaan Nasional.
Dan penulis juga ingin meningkatkan
apresiasi sastra siswa, yaitu apresiasi terhadap karya sastra Bali, serta untuk
mendorong perkembangan kesusastraan Bali, khususnya kesusastraan tembang.
1.3.2
Tujuan Khusus
Secara khusus
penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh
siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2011/2012.
2.
Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang
dirasakan oleh siswa dalam menembangkan Pupuh
Ginada Pakang Raras.
1.4
Manfaat Penelitian
Mengacu dari
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adapun beberapa manfaat dari
hasil penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1.4.1
Manfaat Teoretis
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas dalam bidang pendidikan,
khususnya dalam memahami kesusastraan Bali yang berbentuk tembang , yaitu pupuh.
Hasil penelitian juga diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu bahan perbandingan
bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang sejenis, yaitu
meneliti tentang pupuh.
1.4.2
Manfaat Praktis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis kepada berbagai
kalangan, yaitu sebagai berikut.
1.
Bagi siswa
Hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar matembang sehingga nantinya dapat meningkatkan apresiasi sastra siswa
dalam belajar matembang, khususnya menembangkan
Pupuh Ginada
Pakang Raras.
2.
Bagi guru
Hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai acuan dalam proses pembelajaran bahasa Bali, khususnya dalam
penyampaian pelajaran matembang dan
dapat dijadikan umpan balik dalam pemilihan strategi pembelajaran dan metode
pembelajaran yang tepat dalam pelajaran matembang
sehingga dapat meningkatkan daya tarik para siswa untuk belajar matembang.
3.
Bagi penyusun materi ajar bahasa Bali
Hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai acuan dalam menyusun materi ajar bahasa Bali, khususnya dalam
pemilihan materi matembang yang tepat
dan sesuai dengan jenjang pendidikan.
4.
Bagi tim penyusun kurikulum
Hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan kurikulum bahasa Bali untuk mencapai
tujuan pembelajaran bahasa Bali yang lebih baik.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian
ini, penulis membatasi masalah yang akan diteliti untuk menghindari terjadinya
kesalahan dalam menafsiran objek kajian penelitian dan mengingat keterbatasan
pemahaman dan pengetahuan penulis pada objek kajian penelitian. Berkenaan
dengan hal tersebut, maka jangkauan penelitian ini hanya terbatas pada
kemampuan menembangkan Pupuh
Ginada Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8
Denpasar tahun
pelajaran 2011/2012. Adapun aspek-aspek
yang digunakan sebagai acuan untuk menilai kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras yang
meliputi lima aspek, yaitu (1) onek-onekan;
(2) reng; (3) padalingsa; (4) raras; (5)
tikas.
1.6
Asumsi
Menurut Hadi (1978:10),
asumsi adalah kebenaran teori atau pendapat yang dijadikan dasar dalam
penelitian. Asumsi disejajarkan dengan anggapan dasar atau praduga (Jendra,
1981:15). Pendapat lain mengatakan bahwa asumsi adalah suatu hal yang diyakini
kebenarannya oleh peneliti, yang harus dirumuskan secara jelas, dan akan
berfungsi sebagai hal-hal yang dipakai tempat untuk berpijak bagi peneliti
dalam melaksanakan penelitiannya, serta dipakai memperkuat permasalahannya (Arikunto,
1993:59). Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi adalah
anggapan dasar yang berupa fakta yang tidak diragukan lagi kebenarannya dan digunakan
sebagai landasan untuk berpijak bagi peneliti dalam melakukan penelitiannya. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan beberapa asumsi yang digunakan sebagai landasan
untuk berpijak dalam melakukan penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1.
Siswa kelas XI SMA Negeri Denpasar sudah
diajarkan menembangkan Pupuh Ginada
Pakang Raras sesuai dengan kurikulum yang berlaku (KTSP).
2.
Guru yang mengajar bahasa Bali yang di
dalamnya memuat kompetensi menembangkan pupuh
di SMA Negeri 8 Denpasar sudah memiliki kewenangan dan kualifikasi mengajar.
3.
Perbedaan jenis kelamin siswa, baik
laki-laki maupun perempuan tidak mempengaruhi hasil penelitian ini.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Berbicara
mengenai penelitian tentang pupuh yang
pernah ada, penulis menemukan lima buah penelitian tentang pupuh yang sudah lebih dahulu dilakukan yang sekaligus penulis
gunakan sebagai perbandingan dan menghindari pengulangan penelitian yang sama. Penelitian
tersebut meliputi:
Pertama, penelitian
yang dilakukan oleh I Gusti Ayu Giliani Putri, mahasiswa jurusan Pendidikan
Bahasa Indonesia dan Daerah, IKIP PGRI BALI yang meneliti tentang “Kemampuan
Menembangkan Pupuh Ginada Dasar oleh
Siswa Kelas VII SMA Negeri 4 Abiansemal, Kabupaten Badung Tahun Pelajaran
2010/2011”. Objek yang diteliti adalah kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Dasar dengan
subjek penelitian siswa Kelas VII SMA Negeri 4 Abiansemal . Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 4 Abiansemal, Kabupaten
Badung pada tahun 2010/2011. Ruang lingkup penelitian terbatas pada kemampuan menembangkan
Pupuh Ginada
Dasar dengan aspek penilaian yang terdiri dari: (a) teknik
(onek-onekan, reng,
dan padalingsa); (b) penguasaan
materi; (c) penampilan. Penelitian ini menggunakan empat metode, yaitu: (a)
metode penentuan subjek penelitian; (b) metode pendekatan subjek penelitian;
(c) metode pengumpulan data; (d) metode pengolahan data. Dalam penentuan subjek
penelitian digunakan metode sampel karena jumlah populasi lebih dari 100 orang
yaitu 310 orang siswa yang tersebar pada tujuh kelas. Sampel yang diambil
sebesar 30% dari jumlah populasi. Metode pendekatan subjek penelitian dalam
penelitian ini adalah metode empiris. Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan metode tes berupa tes tindakan. Untuk pengolahan data
penelitian digunakan metode statistik deskriftif.
Kedua, penelitian yang
dilakukan oleh Ni Wayan Lusiani, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia
dan Daerahan, IKIP PGRI BALI, yang meneliti tentang “Kemampuan Matembang Pupuh Sinom oleh Siswa Kelas V
SD Plus Widiatmika Jimbaran Badung Tahun Pelajaran 2009/2010”. Objek penelitian
dalam penelitian ini adalah kemampuan matembang
Pupuh Sinom dengan subjek penelitian siswa kelas V SD Plus Widiatmika
Jimbaran Badung. Penelitian ini dilaksanakan di SD Plus Widiatmika Jimbaran
Badung pada tahun 2009/2010. Ruang lingkup penelitian terbatas pada kemampuan matembang Pupuh Sinom dengan
aspek penilaian yang terdiri dari: (a) onek-onekan;
(b) reng; dan (c) raras. Mengenai metode, penelitian ini
juga menggunakan empat metode, yaitu: (1) metode penentuan subjek penelitian; (2)
metode pendekatan subjek penelitian; (3) metode pengumpulan data; (4) metode
pengolahan data. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan metode populasi
dengan jumlah 53 orang siswa yang tersebar pada dua kelas. Metode pendekatan
subjek penelitian dalam penelitian ini adalah metode empiris. Dalam
mengumpulkan data digunakan metode observasi dan metode tes berupa tes
tindakan. Untuk pengolahan data penelitian digunakan metode statistik
deskriftif.
Ketiga, penelitian yang
dilakukan oleh I Gusti Ayu Megayanti, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa
Indonesia dan Daerah, IKIP PGRI BALI, yang meneliti tentang “Perbedaan
Kemampuan Mengapresiasi Pupuh Ginada dan
Pupuh Durma
oleh Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 2 Kuta Badung, Tahun Pelajaran 2009/2010”. Objek
yang diteliti adalah perbedaan kemampuan mengapresiasi Pupuh Ginada dan
Pupuh Durma
dengan subjek penelitian siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Kuta Badung. Penelitian
dilaksanakan di SMP Negeri 2 Kuta Badung pada tahun 2009/2010. Ruang lingkup
penelitian tergolong luas karena mengungkapkan perbedaan kemampuan menembangkan
dua jenis pupuh, yaitu Pupuh Ginada dan
Pupuh Durma
pada subjek yang sama. Aspek yang dinilai adalah suara, wilet, reng, onek-onekan, dan raras.
Keempat, penelitian
yang dilakukan oleh I Gede Sutaya, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa
Indonesia dan Daerah, IKIP PGRI BALI, yang meneliti tentang “Kemampuan
Menembangkan Pupuh Semarandana Siswa Kelas
X SMA Negeri Amlapura Tahun Pelajaran 2010/2011”. Objek yang diteliti dalam
penelitian ini adalah kemampuan menembangkan Pupuh Semarandana
dengan subjek penelitian siswa kelas X
SMA Negeri Amlapura. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri Amlapura pada tahun
2010/2011. Ruang lingkup penelitian terbatas pada kemampuan menembangkan Pupuh Semarandana
dengan aspek penilaian yang terdiri dari: (a) onek-onekan; (b) reng; (c)
padalingsa; (d) raras. Penelitian ini menggunakan empat metode, yaitu: (1) metode
penentuan subjek penelitian; (2) metode pendekatan subjek penelitian; (3)
metode pengumpulan data; (4) metode pengolahan data. Penentuan subjek
penelitian dilakukan dengan metode sampel karena jumlah populasi lebih dari 100
orang yaitu 142 orang siswa yang tersebar pada empat kelas. Sampel yang diambil
sebesar 60% dari jumlah populasi. Metode pendekatan subjek penelitian dalam
penelitian ini adalah metode empiris. Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan metode observasi dan metode tes berupa tes tindakan. Untuk
pengolahan data penelitian digunakan metode statistik deskriftif.
Kelima, penelitian yang
dilakukan oleh Sang Made Joni, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia
dan Daerah, IKIP PGRI BALI, yang meneliti tentang “Kemampuan Matembang Pupuh Mijil Siswa Kelas IV SD Gugus Kecamatan Banjarangkan
Kabupaten Klungkung Tahun Pelajaran 2010/2011”. Objek yang diteliti adalah
kemampuan matembang Pupuh Mijil
dengan subjek penelitian siswa kelas IV SD Gugus Kecamatan Banjarangkan
Kabupaten Klungkung. Penelitian dilaksanakan di SD Gugus Kecamatan Banjarangkan
Kabupaten Klungkung pada tahun 2010/2011. Penelitian ini juga menggunakan empat
metode, yaitu: (1) metode penentuan subjek penelitian; (2) metode pendekatan
subjek penelitian; (3) metode pengumpulan data; (4) metode pengolahan data.
Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan metode populasi dengan jumlah 77
orang siswa yang tersebar pada lima sekolah. Dalam melakukan pendekatan dengan
subjek penelitian digunakan metode empiris. Pengumpulan data dalam penelitian
ini dilakukan dengan metode observasi, metode tes berupa tes tindakan dan
metode wawancara. Untuk pengolahan data penelitian digunakan metode statistik
deskriftif.
Berdasarkan uraian
kajian pustaka tersebut dapat dinyatakan bahwa penelitian tentang kemampuan
menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras belum
ada yang meneliti. Walaupun terdapat beberapa kesamaan antara penelitian yang
penulis lakukan dengan kelima penelitian di atas dalam hal mengukur kemampuan
siswa menembangkan pupuh, namun yang
membedakan antara penelitian yang penulis lakukan dengan kelima penelitian di
atas adalah: (1) objek penelitian; (2) subjek penelitian; (3) tempat
penelitian; (4) tahun penelitian; (5) ruang lingkup penelitian; (6) metode
penelitian. Objek penelitian yang penulis teliti adalah kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras dengan subjek
penelitian siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar. Penelitian penulis laksanakan
di SMA Negeri 8 Denpasar pada tahun 2011/2012. Ruang lingkup penelitian
terbatas pada kemampuan menembangkan pupuh Ginada Pakang Raras dengan aspek
penilaian yang terdiri dari: (a) onek-onekan;
(b) reng; (c) padalingsa; (d) raras; (e)
tikas. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan empat metode, yaitu: (a) metode penentuan subjek penelitian; (b)
metode pendekatan subjek penelitian; (c) metode pengumpulan data; (d) metode
pengolahan data. Dalam penentuan subjek penelitian digunakan metode sampel
karena jumlah populasi lebih dari 100 orang yaitu 613 orang siswa yang tersebar
pada empat belas kelas. Sampel yang diambil sebesar 60% dari jumlah populasi.
Metode pendekatan subjek penelitian yang penulis gunakan adalah metode empiris.
Pengumpulan data dalam penelitian ini penulis menggunakan dengan metode
observasi, metode tes berupa tes tindakan, metode wawancara, dan metode
kuesioner. Untuk pengolahan data penelitian, penulis menggunakan metode analisis
deskriftif.
2.2
Landasan Teori
2.2.1
Kesusastraan Bali
2.2.1.1
Pengertian Kesusastraan Bali
Kesusastraan
merupakan hasil daya cipta pengarang berdasarkan ilham atau wahyu, lalu
dikarang menggunakan bahasa yang baik dan indah. Untuk mengetahui suatu
gambaran tentang masyarakat Bali, yang meliputi tingkah laku, watak, kehidupan
maupun kebudayaan dan yang lainnya dapat dilakukan dengan membaca kesusastraan
Bali (Gautama, 2007:28).
Kesusasatraan Bali merupakan himpunan
karya-karya sastra yang berbahasa Bali, baik bahasa Bali Tengahan maupun bahasa
Bali Anyar. Karya-karya sastra yang
diciptakan oleh para sastrawan adalah untuk dinikmati, dipahami, dan
nilai-nilai karya sastra tersebut dapat diambil hikmahnya serta diamalkan.
Sastra Bali merupakan pendukung adat, agama, serta cermin kebudayaan daerah
yang tidak terlepas dari pola kehidupan masyarakat Bali yang berlandaskan
adat-istiadat yang kuat serta bersumber pada moral dan agama Hindu.
2.2.1.2
Bentuk-bentuk Kesusastraan Bali
Bentuk-bentuk
kesusastraan Bali dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu sebagai berikut.
1.
Berdasarkan bahasa yang digunakan,
kesusastraan Bali terbagi menjadi 3, yaitu:
a. kesusastraan
yang menggunakan bahasa Bali;
b. kesusastraan
yang menggunakan bahasa Jawa Kuna;
c. kesusastraan
yang menggunakan bahasa Bali/Jawa Tengahan (Nukanaya dkk, 2005:7).
2.
Berdasarkan bentuk, kesusatraan Bali
dibagi menjadi 2, yaitu:
a. kesusastraan
Bali yang berbentuk tembang/puisi,
b. kesusastraan
Bali yang berbentuk gancaran/prosa (Nukanaya
dkk, 2005:7).
Kesusastraan
Bali yang berbentuk puisi merupakan sekumpulan karya-karya sastra Bali yang
ditulis dalam bentuk karangan dengan pola terikat. Pola tersebut lahir dari
suatu aturan persajakan yang diistilahkan dengan prosodi. Aturan-aturan tersebut yang kemudian melahirkan pola-pola
persajakan yang disebut dengan metrum.
Salah satu contoh jenis karya sastra ini adalah geguritan, wewangsalan, kakawin, pupuh, dan puisi-puisi Bali Modern/Anyar (Wisnu, 2005:9).
Kesusastraan
Bali yang berbentuk prosa merupakan sekumpulan karya-karya sastra Bali yang
ditulis dalam bentuk karangan yang ‘bebas’. Istilah ‘bebas’ menekankan pada
pola penyajian, sedangkan stuktur karya sastra prosa tersebut diikat oleh suatu
stuktur cerita (cerita fiksi), seperti tema, alur, penokohan, latar, dan gaya
bahasa. Salah satu contoh jenis karya sastra ini adalah babad, satua, cerpen, dan
novel Bali (Wisnu, 2005:9).
3.
Berdasarkan cara penyampaian, kesusatraan
Bali dibagi menjadi 2, yaitu:
a. kesusastraan
Bali Tutur/Lisan;
b. kesusastraan
Bali Sasuratan/Tulisan
(Nukanaya dkk, 2005:7).
Kesusastraan
Bali lisan merupakan jenis-jenis kesusastraan Bali yang disajikan dari mulut ke
mulut (oralty) sejak berlangsungnya
tradisi lisan di Bali. Karya sastra ini tergolong karya sastra yang tua dan
diperkirakan telah ada sejak zaman prasejarah. Salah satu contoh jenis karya
sastra ini adalah satua-satua Bali. Kesusastraan
Bali yang berbentuk tulisan merupakan jenis-jenis kesusastraan Bali yang
disajikan dalam naskah-naskah, baik berupa tulisan tangan (manuskrip), seperti lontar,
maupun hasil cetakan, seperti naskah-naskah kertas hasil cetakan. Karya sastra
jenis ini lahir ketika berlangsungnya tradisi tulis di Bali. Salah satu contoh
jenis karya sastra ini adalah babad
(Wisnu, 2005:9).
4.
Berdasarkan pada masa keberadaannya
kesusastraan Bali terbagi menjadi 2, yaitu:
a. kesusatraan
Bali Tradisional/Purwa;
b. kesusastraan
Bali Modern/Anyar (Nukanaya dkk, 2005:7).
Kesusastraan
Bali Purwa merupakan formulasi dari
kesusastraan Bali sebagai suatu kesusastraan yang bercorak dan bersifat tradisi
atau warisan dari masa lampau. Kesusastraan Bali dalam hal ini juga disebut
sebagai kesusastraan Bali Tradisional sebagai himpunan karya-karya sastra yang
dibangun atas struktur tradisional, baik dalam hal konvensi, tema, tokoh, maupun motif cerita yang ditampilkan. Pada
karya-karya sastra tersebut dapat dijumpai adanya nilai-nilai luhur yang telah
hidup dan dianut oleh masyarakat Bali sejak masa lampau sebagai nilai-nilai
yang adiluhung. Contoh dari
kesusastraan Bali Purwa ini, di antaranya
ada yang berbentuk tembang, prosa dan
lain sebagainya. Kesusastraan Bali Anyar merupakan
kesusastraan Bali yang diciptakan pada masa Bali baru dengan menginternalisasi
pola-pola kesusastraan Barat ataupun sastra Indonesia baru. Salah satu contoh
karya sastra jenis ini adalah cerpen, novel, dan puisi-puisi Bali Modern
(Wisnu, 2005:17-18).
2.2.1.3
Fungsi Kesusastraan Bali
Fungsi
kesusastraan Bali merupakan penggunaaan kesusastraan Bali dalam kehidupan
masyarakat Bali sebagai pendukung kesusastraan dan kebudayaan. Secara umum,
fungsi kesusastraan Bali dapat dikategorikan sebagai fungsi manifes dan fungsi
laten. Fungsi manifes merupakan fungsi yang tampak dan disadari oleh
masyarakat, sedangkan fungsi laten merupakan fungsi yang tersirat dan tidak
disadari oleh masyarakat pendukungnya. Fungsi manifes meliputi (a) fungsi
estetis, yaitu sebagai sarana dalam mengungkapkan keindahan; (b) fungsi
hiburan, yaitu sebagai sarana untuk menghibur; (c) fungsi edukatif, yaitu
sebagai sarana pendidikan. Fungsi laten, meliputi: (a) fungsi informatif, yaitu
sebagai sarana dalam menyelipkan wacana-wacana kehidupan pada masyarakat Bali;
(b) fungsi legimitasi, yaitu sebagai sarana dalam mengukuhkan aspek-aspek
tertentu dalam kehidupan masyarakat Bali; (c) fungsi pengendalian sosial, yaitu
sebagai sarana dalam menata atau mengendalikan pola pikir dan prilaku
masyarakat Bali (Wisnu, 2005:13).
2.2.1.4
Makna Kesusastraan Bali
Makna kesusastraan
Bali dimaksudkan sebagai muatan, kandungan, atau dalam ilmu sastra disebut
dengan ‘nilai’ dalam kesusastraan Bali. Terkait dengan hal itu, maka
nilai-nilai pada kesusastraan Bali merupakan pandangan-pandangan masyarakat
Bali yang tercermin dalam karya-karya sastra Bali. Pandangan tersebut berkenaan
dengan hal-hal yang dianggap baik, pantas dan sesuai bagi ukuran normatif
masyarakat Bali. Pandangan-pandangan tersebut ditata sedemikian rupa oleh
pengarang dengan kepiawaian yang dimiliki. Hal itulah yang selanjutnya
ditangkap oleh pembaca sebagai suatu nilai. Dengan demikian, maka nilai-nilai
pada kesusastraan Bali pada dasarnya mencakup seluruh aspek kehidupan. Sehubungan
dengan hal itu, adapun nilai-nilai pada karya-karya sastra Bali, meliputi nilai
filosofis, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai kepahlawanan, nilai religius,
nilai magis, nilai peruwatan, nilai keseimbangan, nilai estetika, dan nilai ekspresivitas.
Nilai
filosofis merupakan nilai-nilai yang berkenaan dengan masalah filsafat atau
hakikat kehidupan. Nilai pendidikan merupakan nilai yang berkenaan dengan
segala masalah kependidikan. Nilai sosial merupakan nilai yang berkenaan dengan
realitas maupun permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Nilai
kepahlawanan merupakan nilai yang berkenaan dengan masalah kepahlawanan. Nilai religius
merupakan nilai yang berhubungan dengan kepercayaan maupun keyakinan
masyarakat. Nilai magis merupakan nilai yang berhubungan dengan dunia
supranatural. Nilai peruwatan merupakan nilai yang berhubungan dengan ritus
peralihan dalam dunia supranatural. Nilai
keseimbangan merupakan nilai yang berhubungan dengan keharmonisan hidup
masyarakat. Nilai estetika adalah nilai yang berhubungan dengan masalah
keindahan. Nilai ekspresivitas merupakan
nilai yang berhubungan dengan masalah penjiwaan atau pencurahan perasaan
(Wisnu, 2005:13-14).
2.2.2
Tembang
2.2.2.1
Pengertian Tembang
Budiyasa (1998:3) menyatakan bahwa tembang merupakan bagian seni yang
dituangkan dalam suara, irama, dan ritme dengan menggunakan laras pelog ataupun slendro. Dalam buku Penuntun
Belajar Muatan Lokal Tembang dinyatakan
bahwa tembang adalah salah satu
cabang kesenian daerah Bali yang merupakan seni vokal tradisional sebagai
pencetusan rasa estetika melalui rangkaian nada yang berlaras pelog
dan slendro baik dibawakan oleh suara
vokal maupun instrumentalia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tembang
adalah salah satu cabang kesenian daerah Bali yang hidup dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat Bali, yang merupakan ungkapan rasa seni melalui rangkaian nada,
ritme, maupun irama yang berlaras pelog ataupun slendro.
Dalam
perkembangannya, sastra tembang
disebut dengan dharmagita. Menurut
Suarka (2009:1), dharmagita adalah
suatu nyanyian kebenaran, nyanyian keadilan yang dinyanyikan dalam pelaksanaan
upacara agama Hindu. Dharmagita sangat
berperan dalam kegiatan upacara agama sebagai pencurahan rasa bhakti dan
pembimbing konsentrasi pikiran menuju suatu kebenaran. Hal ini disebabkan karena dharmagita
mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, serta pelukisan kebesaran
Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya. Sejalan dengan itu, dharmagita sebagai salah satu budaya Hindu sangat berperan penting
dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan beragama di kalangan generasi muda
Hindu, sehingga perlu
ditanamkan sejak dini.
2.2.2.2
Jenis-Jenis Tembang
Dalam buku Kesusastraan
Bali (2005:7) disebutkan bahwa bentuk-bentuk kesusastraan tembang di Bali disebut dengan ‘sekar’. Sekar ini dibagi lagi menjadi 4 bentuk, yaitu Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madya, dan Sekar Agung. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari I Ketut
Sukrata yang membagi tembang menjadi 4 jenis, yaitu Sekar Rare, Sekar Alit (macapat), Sekar Madya (kidung) dan Sekar Agung (kakawin) (Tinggen, 1982:23).
1.
Sekar
Rare
Sekar Rare atau
juga disebut dengan gegendingan, merupakan
bentuk tembang yang tidak diikat oleh
suatu aturan seperti bentuk-bentuk tembang
yang lainnya. Sekar Rare ini
pada umumnya menggunakan bahasa Bali lumrah
(bahasa sehari-hari). Seperti namanya Sekar
Rare, dimana ‘rare’ berarti
anak-anak, bentuk tembang ini
biasanya dinyanyikan oleh anak-anak tatkala bulan purnama. Oleh sebab itu, Sekar Rare ini mencerminkan rasa senang
dan gembira pada anak-anak saat mereka bermain-main. Sekar Rare dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) Gending Rare (dolanan), seperti: Guak Maling Taluh, Meong-meong,
Juru Pencar, dan lain-lain; (2) Gending Janger,
biasanya dinyanyikan oleh penari janger
dan kecak secara bersahut-sahutan,
seperti: Embok Nyoman, Don Dapdap, dan lain sebagainya; (3) Gending Sanghyang,
biasanya dinyanyikan oleh penari sanghyang,
seperti: Sanghyang Dadari, Sanghyang Panyalin, dan lain-lain.
Berdasarkan keberadaan Sekar Rare tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa gegendingan
tidak hanya dinyanyikan oleh anak-anak, tetapi juga bisa dinyanyikan oleh para
pemuda-pemudi (Nukanaya dkk, 2005: 8-10).
2.
Sekar
Alit
Sekar Alit
atau yang biasa disebut dengan macapat
adalah bentuk tembang yang diikat oleh aturan padalingsa. Hukum padalingsa
adalah banyaknya baris dalam satu bait tembang
(guru gatra), banyaknya suku kata
pada tiap-tiap baris (guru wilang),
dan huruf vokal atau huruf hidup yang ada pada suku kata akhir tiap-tiap baris
dalam satu bait tembang (guru ding-dong).
Jenis-jenis
tembang macapat di Bali dibagi
menjadi sepuluh jenis, yaitu: (1) Pupuh
Maskumambang; (2) Pupuh Pucung;
(3) Pupuh
Mijil; (4) Pupuh
Ginanti; (5) Pupuh Ginada;
(6) Pupuh
Pangkur; (7) Pupuh
Sinom; (8) Pupuh Semarandana;
(9) Pupuh
Durma; (10) Pupuh
Dandang (Nukanaya dkk, 2005:10-11).
3.
Sekar
Madya
Sekar Madya
atau yang sering disebut dengan kidung,
pada prinsipnya juga diikat oleh suku kata dan bunyi akhir (rima). Sekar Madya pada umumnya menggunakan
bahasa Bali Tengahan (Suarka, 2009:3). Di Bali Sekar Madya atau kidung
digunakan sebagai pengiring ritual upacara agama Hindu. Ada beberapa
jenis-jenis kidung yang terdapat di Bali, di antaranya: Kidung Wargasari, Kidung Tantri,
Kidung Putrusaji,
dan lain sebagainya (Nukanaya dkk, 2005:11-12).
4.
Sekar
Agung
Sekar Agung
atau kakawin adalah syair Jawa Kuna
yang digubah berdasarkan
aturan metrum India. Kakawin diikat oleh aturan guru-laghu (matra), jumlah baris dan suku kata (wretta) dalam satu bait (pada).
Guru adalah suku kata panjang
(dilagukan panjang/berat). Laghu adalah
suku kata pendek (dilagukan pendek/ringan) (Suarka, 2009:3). Ada beberapa jenis
Sekar Agung
yang ada di Bali, di antaranya: Wirama
Sronca, Wirama
Rajani, Wirama
Girisa, Wirama
Totaka, dan lain sebagainya (Nukanaya dkk, 2005:24-25).
2.2.3
Pupuh
2.2.3.1
Pengertian Pupuh dan Jenis-jenisnya
Kata
pupuh dalam bahasa Bali berarti
bentuk lagu yang terikat oleh padalingsa,
sedangkan kata mupuh berarti sesuai
dengan syarat-syarat irama lagu, (Dinas Pendas Prov. Dati I Bali, 1978:460). Dalam
kamus Bahasa Bali Indonesia
disebutkan, bahwa pupuh bentuk lagu
yang diikat oleh padalingsa. Jadi,
dapat disimpulkan pupuh adalah suatu
bentuk puisi yang dilagukan atau dinyanyikan yang diikat oleh kaidah-kaidah
yang teratur (padalingsa). Hukum padalingsa dalam pupuh mencakup tiga hal, yaitu (1) banyaknya baris dalam satu bait
pupuh (guru gatra); (2) banyaknya
suku kata pada tiap-tiap baris pupuh
dalam satu bait pupuh (guru wilang); (3) huruf vokal atau huruf
hidup yang ada pada suku kata akhir tiap-tiap pupuh dalam satu bait pupuh
(guru ding-dong).
Jenis-jenis
pupuh yang ada di Bali dibagi menjadi
sepuluh jenis, yaitu: (1) Pupuh
Maskumambang; (2) Pupuh Mijil;
(3) Pupuh
Pucung; (4) Pupuh
Ginanti; (5) Pupuh Ginada;
(6) Pupuh
Sinom; (7) Pupuh
Semarandana; (8) Pupuh Durma;
(9) Pupuh
Pangkur; (10) Pupuh
Dandang Gula (Nukanaya dkk, 2005:10-11).
Berbeda jenis pupuhnya, maka
berbeda pula padalingsanya. Berikut
ini disajikan aturan padalingsa yang
mengikat masing-masing pupuh tersebut diatas, seperti tabel di bawah ini.
Tabel
2.1 Aturan/Padalingsa pada Tiap-tiap Pupuh
No.
|
Nama
Tembang/Pupuh
|
Padalingsa (Guru Gatra, Guru Wilang, Guru
Ding-dong)
|
|||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
||
1.
|
Maskumambang
|
4a
|
8i
|
6a
|
8i
|
8i
|
|
|
|
|
|
2.
|
Mijil
|
10i
|
6o
|
10e
|
10i
|
6i
|
8u
|
|
|
|
|
3.
|
Pucung
|
4u
|
8u
|
6a
|
8i
|
4u
|
8a
|
|
|
|
|
4.
|
Ginanti
|
8u
|
8i
|
8a
|
8i
|
8a
|
8i
|
|
|
|
|
5.
|
Ginada
|
8a
|
8i
|
8a
|
8u
|
8a
|
4i
|
8a
|
|
|
|
6.
|
Sinom
|
8a
|
8i
|
8a
|
8i
|
8i
|
8u
|
8a
|
8i
|
4u
|
8a
|
7.
|
Semarandana
|
8i
|
8a
|
8o
|
8a
|
8a
|
8u
|
8a
|
|
|
|
8.
|
Durma
|
12a
|
8i
|
6a
|
8a
|
8i
|
5a
|
7i
|
|
|
|
9.
|
Pangkur
|
8a
|
11i
|
8u
|
7a
|
12u
|
8a
|
8i
|
|
|
|
10.
|
Dandang Gula
|
10i
|
10a
|
8e
|
7u
|
9i
|
7a
|
6u
|
8a
|
12i
|
7a
|
(Nukanaya
dkk, 2005:11-12)
Tata
cara menembangkan pupuh dapat ditempuh
dengan dua cara, yaitu (1) paca pariring,
menembangkan pupuh sesuai dengan nada
pokoknya yang polos tanpa diberikan variasi, dan (2) nyengkok wilet, menembangkan pupuh
yang sudah menggunakan variasi (cengkok,
wilet dan gregel) (Nukanaya dkk, 2005:13).
2.2.3.2
Karakteristik Pupuh
Setiap
pupuh memiliki karakter atau wataknya
tersendiri untuk mengekspresikan berbagai perasaan yang sekaligus menjadi
pembeda antara pupuh yang satu dengan
yang lainnya. Adapun fungsi atau karakter dari masing-masing pupuh adalah sebagai berikut.
1.
Pupuh
Maskumambang, wataknya menggambarkan perasaan yang
sedih, merana, terkadang romantis. Baiknya untuk mengetuk perasaan.
2.
Pupuh
Mijil, wataknya menggambarkan perasaan yang was-was. Baiknya
untuk menguraikan nasehat.
3.
Pupuh
Pucung, wataknya kendor, tanpa disertai perasaan memuncak.
Baiknya untuk menguraikan ajaran.
4.
Pupuh
Ginanti, wataknya senang ajaran, filsafat. Baiknya untuk menguraikan
ajaran dan filsafat.
5.
Pupuh
Ginada, wataknya menggambarkan kesedihan, merana, dan
kekecewaan, tetapi terdapat juga Pupuh
Ginada yang melukiskan kegembiraan dan
perdamaian.
6.
Pupuh
Sinom, wataknya romantis, ramahtamah. Baiknya untuk mengungkapkan
nasihat dan amanat.
7.
Pupuh
Semarandana, wataknya agak sedih, terkadang
romantis. Baiknya untuk mengungkapkan cerita yang bernuansa asmara atau romantis.
8.
Pupuh
Durma, watakya agak keras, terkadang bengis. Baiknya
untuk mengungkapkan cerita kepahlawanan.
9.
Pupuh
Pangkur, wataknya perasaan hati yang memuncak. Baiknya
untuk menyampaikan masalah yang serius atau mantap.
10. Pupuh Dandang Gula,
wataknya halus, lemah gemulai. Baiknya untuk menguraikan nasehat.
(Budiyasa
dan Purnawan, 1997:1)
2.2.4
Pupuh Ginada
Pupuh
Ginada berasal
dari lingga basa ‘gada’ mendapat sisipan -in- menjadi ginada yang berarti terpukul dan
akhirnya tertimpa oleh kekecewaan yang dalam (Gautama, 2004:34). Pupuh Ginada merupakan salah satu jenis pupuh yang biasa digunakan dalam membuat geguritan. Pupuh Ginada
banyak digunakan oleh pengarang untuk menciptakan geguritan mono-metris (geguritan
yang dibangun dengan menggunakan satu jenis pupuh), seperti Geguritan
Jayaprana, menggunakan Pupuh Ginada Jayaprana,
Geguritan
Bungkling menggunakan Pupuh Ginada Bungkling,
Geguritan Basur
menggunakan Pupuh
Ginada Basur, dan lain-lain.
Pada umumnya masing-masing pupuh mempunyai karakter sendiri,
demikian juga Pupuh
Ginada mempunyai karakter sedih, sehingga baik untuk
melukiskan kesedihan, merana, dan perasaan hati yang kecewa. Dalam
perkembangannya, masyarakat Bali banyak sekali menemukan jenis-jenis Pupuh Ginada yang
memiliki titi laras yang berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya , yaitu sebagai berikut.
1.
Pupuh
Ginada Lumrah/Dasar.
2.
Pupuh
Ginada Jayaprana.
3.
Pupuh
Ginada Bungkling (Eman-eman).
4.
Pupuh
Ginada Candrawati.
5.
Pupuh
Ginada Basur.
6.
Pupuh
Ginada Pakang Raras.
7.
Pupuh
Ginada Bagus Umbara.
8.
Pupuh
Ginada Linggar Petak. (Nukanaya
dkk, 2005:12)
2.2.5
Pupuh Ginada Pakang Raras
Pupuh
Ginada Pakang Raras merupakan salah satu jenis Pupuh Ginada
yang memiliki karakteristik sedih, sehingga baik untuk melukiskan kesedihan,
merana, dan perasaan hati yang kecewa. Jenis-jenis Pupuh Ginada
antara yang satu dengan yang lainnya memiliki titi laras yang berbeda-beda. Adapun titi laras atau notasi dari Pupuh Ginada Pakang Raras
sebagai berikut.
Pupuh
Ginada Pakang Raras
|
||||||||
e
|
e
|
e
|
,
|
|
u
|
e
|
u
|
,
|
Se
|
sa
|
nan
|
sang
|
|
mra
|
ga
|
sis
|
ya
|
,
|
i
|
u
|
u
|
|
e
|
,
|
u
|
e
|
ngu
|
lik
|
sas
|
tra
|
|
le
|
mah
|
we
|
ngi
|
e
|
u
|
u
|
i
|
|
,
|
e
|
,
|
u
|
ang
|
gen
|
be
|
kel
|
|
ka
|
we
|
ka
|
san
|
u
|
i
|
,
|
e
|
|
o
|
e
|
u
|
e
|
a
|
ne
|
nyan
|
dang
|
|
tu
|
lad
|
ti
|
ru
|
i
|
o
|
e
|
u
|
|
,
|
e
|
,
|
u
|
i
|
nger
|
i
|
nger
|
|
ang
|
di
|
ma
|
nah
|
o
|
e
|
u
|
e
|
|
|
|
|
|
ling
|
ing
|
ja
|
ti
|
|
|
|
|
|
u
|
,
|
e
|
u
|
|
o
|
e
|
u
|
e
|
sa
|
ha
|
na
|
ning
|
|
da
|
ging
|
sas
|
tra
|
2.2.6
Aspek Penilaian dalam Pupuh
Dalam materi Utsawa Dharma Gita tingkat SD, SMP, SMA
atau SMK Kota Denpasar tahun 2006, kriteria penilaian untuk pupuh terdiri dari: (1) onek-onekan; (2) reng dan suara; (3) padalingsa;
(4) raras; (5) tikas. Di bawah ini diuraikan secara lebih rinci kriteria penilaian
pupuh diatas sebagai berikut.
1.
Onek-onekan
Onek-onekan
adalah ketepatan dan kebenaran dalam membaca, mengucapkan serta memenggal
kata-kata pada saat pembacaan. Ketepatan dan kebenaran dalam membaca serta memenggal kata-kata sangat penting karena jika
terjadi kesalahan membaca atau ngonek akan membawa konsekuensi
kesalahan dalam penerjemahan dan tembang
itu sendiri akan menjadi ngelung.
2.
Reng
dan
Suara
Reng
adalah tinggi rendahnya suara sesuai dengan laras
tembang. Suara yang dimaksud disini adalah suara untuk pupuh atau tembang adalah
suara yang berada pada ujung lidah pada saat penembangan. Jenis suara pupuh disebut suara nantia. Suara yang dikategorikan becik, yaitu suara yang
memiliki getaran, suara teratur dalam hal keras lembut ataupun tinggi rendah (gregel). Jika suara dalam menembangkan pupuh sudah memiliki gema, getaran, dan
kelenturan, maka akan dapat menghasillkan alunan tembang yang indah dan
sempurna.
3.
Padalingsa
Padalingsa
pada pupuh lebih menekankan pada guru ding-dong, yakni ketepatan nada
akhir pada tiap baris. Apabila terjadi kesalahan dalam mengambil nada akhir (guru ding-dong) pupuh, maka pupuh itu
akan menjadi ngandang. Misalnya, nada
akhir (guru ding-dong) dalam satu
baris Pupuh
Ginada bersuara ndeng,
tetapi pada saat menembangkan nada akhir (guru ding-dong) satu baris Pupuh Ginada tersebut
bersuara nding, maka tembang pupuh tersebut menjadi ngandang. Ngandang yang dimaksud adalah tidak adanya keselarasan antara nada
akhir (guru ding-dong) dalam satu baris
pupuh dengan pengambilan nada awal
pada baris berikutnya.
4.
Raras
Raras
adalah ekspresi atau penjiwaan seorang peserta dalam menyajikan teks yang
dibaca. Raras ini berkaitan dengan
mimik, raut wajah, dan tatap mata yang sesuai dengan teks pupuh yang ditembangkan. Misalnya, dalam menembangkan Pupuh Ginada yang
menggambarkan kesedihan, merana, dan kekecewaan, maka raras yang harus ditampilkan adalah
mimik, raut wajah, dan tatap mata yang menunjukan kesedihan, merana, dan
kekecewaan. Artinya, raras yang baik
adalah raras yang sesuai dengan
karakter pupuh.
5.
Tikas
Tikas adalah
sikap penampilan pada saat menembangkan pupuh
dari awal sampai berakhir. Tikas atau
penampilan yang baik pada saat menembangkan pupuh
adalah penampilan yang tenang, lancar, dan tidak gugup dari awal menembangkan
pupuh sampai berakhir. Dalam menembangkan
pupuh sangat tidak diharapkan
penampilan yang tergesa-gesa, tegang, takut, dan terkesan ingin cepat-cepat
selesai menembangkan pupuh.
2.2.7
Apresiasi Sastra
Menurut Suroto (1989:157-158),
apresiasi terhadap karya sastra adalah upaya atau proses menikmati, memahami,
dan menghargai suatu karya sastra secara kritis, sehingga tumbuh pengertian,
penghargaan, dan kepekaan pikiran kritis serta kepekaan pikiran yang baik
terhadap sastra. Pendapat lain mengatakan bahwa apresiasi mengandung arti sensitif
terhadap sesuatu ataupun pemahaman sensitif terhadap sesuatu (Oemarjati dalam
Antilan Purba, 2008:29).
Dari
kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra adalah
kegiatan untuk memahami, menikmati, menghargai, dan menilai sebuah cipta
sastra. Tujuan untuk mengapresiasi sastra adalah untuk memupuk minat dan
ketertarikan anak didik kepada kesusastraan agar mempunyai rasa cinta terhadap
sastra. Suroto (1989:157-158), menyebutkan ada lima tahap proses pembentukan
apresiasi sastra, yaitu sebagai berikut.
1.
Tahap penikmatan, pada tahap ini
penikmat melakukan tindakan membaca, melihat, menonton atau mendengarkan suatu
karya sastra. Misalnya membaca novel, roman atau puisi, dan menonton
pertunjukan drama.
2.
Tahap penghargaan, penikmat melakukan
tindakan melihat kebaikan , manfaat karya sastra. Setelah mendengar atau
membaca karya sastra lalu penikmat merasakan adanya manfaat menyenangkan dan kepuasan.
3.
Tahap pemahaman, penikmat melakukan
tindakan meneliti, menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsiknya serta
berusaha menyimpulkannya.
4.
Tahap penghayatan, penikmat akan
menganalisis lebih lanjut karya sastra tersebut, mencari hakikat atau makna
suatu karya sastra serta argumentasinya, membuat penafsiran dan menyusun
argument berdasarkan analisis yang telah dibuatnya.
5.
Tahap implikasi atau penerapan, setelah
menikmati suatu karya sastra sangat mungkin timbul ide baru pada penikmat, kemudian melaksanakan ide tersebut demi
kepentingan sosial, politik, dan budaya.
2.2.8
Apresiasi Pupuh Ginada Pakang Raras
Berdasarkan
pengertian, tujuan, tahapan-tahapan apresiasi sastra dan berdasarkan fungsi
dari Pupuh
Ginada Pakang Raras, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan
mengapresiasi Pupuh
Ginada Pakang Raras adalah kegiatan memahami menikmati,
menghargai, dan menilai Pupuh
Ginada Pakang Raras yang wataknya melukiskan kesedihan,
merana, dan kekecewaan. Melalui tahapan menikmati, menghargai, memahami,
menghayati, dan menerapkan Pupuh
Ginada Pakang Raras, maka siswa akan dapat merasakan nilai
yang terkandung dalam pengapresiasian Pupuh Ginada Pakang Raras
tersebut.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang sudah tentu menggunakan metode. Penggunaan
suatu metode dalam penelitian sangatlah
penting karena suatu penelitian akan
berhasil dilakukan dan akan mencapai hasil yang baik apabila metode yang
digunakan dalam penelitian tersebut tepat.
Secara
umum metode adalah suatu cara yang digunakan dalam suatu aktivitas dalam rangka
untuk mencapai tujuan dengan menggunakan rencana sistematis. Lebih lanjut
Surachmad (1980:86), menyatakan metode adalah cara yang dalam fungsinya
merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Pendapat lain mengatakan bahwa
metode adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji suatu kebenaran
ilmu pengetahuan, usaha yang dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah (Hadi,
1981:4). Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian adalah suatu cara yang digunakan dalam suatu penelitian dengan
menggunakan rencana sistematis untuk memperoleh kebenaran-kebenaran ilmiah
melalui metode-metode ilmiah.
Dalam
kaitannya dengan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan menembangkan
Pupuh Ginada
Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8
Denpasar tahun
pelajaran 2011/2012, metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah (1) metode penentuan subjek penelitian;
(2) metode pendekatan subjek penelitian; (3) metode pengumpulan data; (4)
metode pengolahan data.
3.1
Metode Penentuan Subjek Penelitian
Metode penentuan
subjek penelitian adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan subjek
penelitian. Subjek penelitian merupakan setiap individu yang akan diteliti.
Individu disini dapat berwujud manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan ataupun
benda-benda (Netra, 1974:22). Di dalam melakukan suatu penelitian harus ada
subjek penelitian, karena subjek penelitian inilah yang nantinya merupakan
sumber data untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Dalam penelitian ini,
yang dijadikan subjek penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012. Penentuan subjek
penelitian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu meneliti semua subjek
penelitian atau yang disebut dengan penelitian populasi dan meneliti sebagian
subjek penelitian atau yang dikenal dengan penelitian sampel. Sehubungan dengan
hal tersebut dan sebelum subjek penelitian ditentukan berikut akan dibicarakan terlebih dahulu mengenai
populasi dan sampel penelitian.
3.1.1
Penelitian Populasi
Populasi adalah keseluruhan
subjek penelitian (Arikunto, 1993:108). Netra
(1974:23) mengatakan bahwa populasi adalah keseluruhan individu atau
jumlah yang lebih besar dan lebih luas. Berdasarkan pendapat di atas, yang
menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri
8 Denpasar tahun
pelajaran 2011/2012.
Tabel
3.1 Populasi Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012
No.
|
Kelas
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah siswa
|
1.
|
XI IPA 1
|
21
|
27
|
48
|
2.
|
XI IPA 2
|
15
|
35
|
50
|
3.
|
XI IPA 3
|
17
|
31
|
48
|
4.
|
XI IPA 4
|
19
|
30
|
49
|
5
|
XI IPA 5
|
9
|
39
|
48
|
6.
|
XI IPA 6
|
20
|
30
|
50
|
7.
|
XI IPA 7
|
25
|
22
|
47
|
8.
|
XI IPA 8
|
24
|
25
|
49
|
9.
|
XI IPA 9
|
26
|
22
|
48
|
10.
|
XI IPS 1
|
19
|
13
|
32
|
11.
|
XI IPS 2
|
27
|
10
|
37
|
12.
|
XI IPS 3
|
20
|
16
|
36
|
13.
|
XI IPS 4
|
23
|
12
|
35
|
14.
|
XI IPS 5
|
28
|
8
|
36
|
Jumlah
|
14 kelas
|
293 orang
|
320 orang
|
613 orang
|
Berdasarkan
tabel di atas, dapat dilihat populasi siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 berjumlah 613 orang,
yang terdiri dari 293 orang laki-laki dan 320 orang perempuan. Berdasarkan
pendapat Arikunto (1993:107) yang menyatakan bahwa apabila subjek penelitian
kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sedangkan apabila lebih dari 100
bisa diambil sampel dengan cara mengambil 10-15% atau 20-25% ataupun lebih dari
jumlah populasi. Didasarkan atas pendapat di atas, dalam penelitian ini akan
menggunakan metode penelitian sampel mengingat banyaknya jumlah subjek yang
diteliti lebih dari 100 orang siswa.
3.1.2
Penelitian Sampel
Sampel
penelitian adalah bagian dari populasi yang langsung diteliti. Dalam menentukan
sampel penelitian digunakan metode sampling. Menurut Netra (1974:25), metode
sampling adalah suatu cara pengambilan subjek penyelidikan, dimana subjek yang
akan diselidiki terdiri dari sejumlah individu yang mewakili jumlah yang lebih
besar. Untuk mendapatkan sampel yang dapat mewakili populasi (representatif), maka pengambilan sampel
dari tiap-tiap sub populasi didasarkan atas besar kecilnya jumlah siswa pada
tiap sub populasi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Arikunto (1993:107)
yang mengemukakan bahwa untuk sekedar sebagai pegangan maka apabila subjek
penelitian kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sedangkan apabila lebih
dari 100 bisa diambil sampel dengan cara mengambil 10-15% atau 20-25% ataupun
lebih dari jumlah populasi.
Berdasarkan pendapat tersebut dan
mengingat besarnya jumlah subjek yang diteliti yaitu lebih dari 100 orang, maka
ditentukan besarnya jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah
mengambil 60% dari jumlah populasi
yang ada, yaitu 60% x 613 = 367,8 orang, yang dibulatkan keatas menjadi 368 orang.
Untuk mendapatkan sampel yang dapat mewakili populasi (representatif), maka pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan dua teknik sampling, yaitu (1) proporsional sampling dan (2) random
sampling.
1.
Proporsional Sampling
Proporsional sampling
adalah suatu cara penentuan sampel dari suatu populasi dengan mempertimbangkan
adanya bagian-bagian atau sub-sub dari populasi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hadi (1989:74) yang mengemukakan bahwa proporsional sampling adalah suatu cara
atau teknik pengambilan sampel yang didasarkan atas besar kecilnya sub
populasi. Sub-sub populasi dalam penelitian ini adalah kelas yang ada.
Berdasarkan uraian di atas,
pengambilan sampel dari tiap-tiap sub populasi dapat tentukan jumlahnya dengan
perhitungan rumus sebagai berikut.
(Netra, 1974: 28)
Dengan menggunakan perhitungan di atas, ada kemungkinan
hasil yang didapat berupa bilangan pecahan. Oleh karena itu, akan dilakukan
pembulatan-pembulatan atas hasil yang didapat. Untuk pecahan 0,5 ke atas akan
dibulatkan ke atas dan pecahan 0,5 ke bawah dibulatkan ke bawah. Berdasarkan
perhitungan di atas, maka jumlah siswa yang diambil dari tiap sub populasi yang
digunakan sebagai sampel adalah sebagai berikut.
a.
Kelas XI IPA 1 dengan jumlah sub
populasi 48 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
48
x
368 = 28,8 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
b.
Kelas IPA 2 dengan jumlah sub populasi
50 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
50
x
368 = 30,3 orang siswa, dibulatkan menjadi 30 orang.
613
c.
Kelas XI IPA 3 dengan jumlah sub
populasi 48 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
48
x
368 = 28,8 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
d.
Kelas XI IPA 4 dengan jumlah sub
populasi 49 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
49
x
368 = 29,4 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
e.
Kelas XI IPA 5 dengan jumlah sub
populasi 48 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
48
x
368 = 28,8 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
f.
Kelas XI IPA 6 dengan jumlah sub
populasi 50 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
50
x
368 = 30,3 orang, dibulatkan menjadi 30 orang.
613
g.
Kelas XI IPA 7 dengan jumlah sub
populasi 47 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
47
x 368 = 28,2 orang, dibulatkan menjadi 28
orang.
613
h.
Kelas XI IPA 8 dengan jumlah sub
populasi 49 Orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
49
x
368 = 29,4 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
i.
Kelas XI IPA 9 dengan jumlah sub
populasi 48 Orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
48
x
368= 28,8 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
j.
Kelas XI IPS 1 dengan jumlah sub
populasi 32 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
32
x
368 = 19,2 orang, dibulatkan menjadi 19 orang.
613
k.
Kelas XI IPS 2 dengan jumlah sub
populasi 32 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
37
x
368 = 22,2 orang, dibulatkan menjadi 22 orang.
613
l.
Kelas XI IPS 3 dengan jumlah sub
populasi 36 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
36
x
368 = 21,6 orang, dibulatkan menjadi 22 orang.
613
m. Kelas
XI IPS 4 dengan jumlah sub populasi 35 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
35
x
368 = 21,0 orang, dibulatkan menjadi 21 orang.
613
n. Kelas
XI IPS 5 dengan jumlah sub populasi 36 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
36
x
368 = 21,6 orang, dibulatkan menjadi 22 orang.
613
Dengan perhitungan di atas, maka
dapat dirinci jumlah sampel yang diambil dari tiap sub populasi seperti dalam
tabel berikut ini.
Tabel
3.2 Sampel Populasi
Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran
2011/2012
No.
|
Kelas
|
Jumlah Siswa
|
Jumlah Sampel
|
1.
|
XI IPA 1
|
48
|
29
|
2.
|
XI IPA 2
|
50
|
30
|
3.
|
XI IPA 3
|
48
|
29
|
4.
|
XI IPA 4
|
49
|
29
|
5.
|
XI IPA 5
|
48
|
29
|
6.
|
XI IPA 6
|
50
|
30
|
7.
|
XI IPA 7
|
47
|
28
|
8.
|
XI IPA 8
|
49
|
29
|
9.
|
XI IPA 9
|
48
|
29
|
No.
|
Kelas
|
Jumlah Siswa
|
Jumlah Sampel
|
10.
|
XI IPS 1
|
32
|
19
|
11.
|
XI IPS 2
|
37
|
22
|
12.
|
XI IPS 3
|
36
|
22
|
13.
|
XI IPS 4
|
35
|
21
|
14.
|
XI IPS 5
|
36
|
22
|
Jumlah
|
14 kelas
|
613 orang
|
368 orang
|
2.
Random Sampling
Random sampling adalah
sampling yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi
untuk menjadi anggota sampel (Sugiyono, 1999:56). Berdasarkan pendapat di atas,
untuk memberikan peluang yang sama kepada subjek penelitian dalam penelitian
ini, maka pengambilan anggota sampel dalam penelitian ini digunakan teknik random
sampling dengan teknik undian untuk menghindari subjektivitas dalam memilih
anggota sampel. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menggunakan teknik undian
adalah sebagai berikut.
a.
Disiapkan satu buah kaleng.
b.
Dibuatkan potongan kertas-kertas kecil
sesuai dengan jumlah subjek penelitian pada tiap sub populasi.
c.
Kertas-kertas kecil tersebut diisi kode
“maju” sesuai dengan jumlah sampel
yang ditetapkan pada tiap sub populasi, sedangkan sisanya diberikan kode “tidak maju”.
d.
Lembaran kertas-kertas kecil tersebut digulung
dan dimasukan ke dalam kaleng kemudian kaleng dikocok dengan rata.
e.
Siswa maju satu persatu ke depan kelas
untuk mengambil satu buah gulungan kertas.
f.
Siswa yang mengambil kertas yang berisi
kode “maju” dijadikan sebagai anggota
sampel.
3.2
Metode Pendekatan Subjek Penelitian
Sesuai dengan
langkah-langkah penelitian, setelah subjek penelitian ditentukan, maka
selanjutnya dilakukan upaya untuk melakukan pendekatan pada subjek penelitian.
Menurut Netra (1974:36), metode pendekatan subjek penelitian adalah golongan
metode yang khusus yang dipergunakan untuk mengadakan pendekatan pada subjek
penelitian. Metode pendekatan subjek penelitian ada dua, yaitu metode empiris
dan metode eksperimen.
Dari kedua metode
tersebut, metode yang digunakan untuk mengadakan pendekatan pada subjek
penelitian dalam penelitian ini adalah metode empiris. Metode empiris adalah
suatu cara pendekatan dimana gejala yang akan diselidiki telah ada secara wajar
(Netra, 1974:35). Dalam penelitian ini gejala yang akan diselidiki sudah ada
secara wajar. Gejala yang dimaksud adalah kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras
oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar sudah diajarkan dalam proses
pembelajaran mata pelajaran muatan lokal bahasa daerah Bali yang sudah sesuai
dengan kurikulum yang berlaku (KTSP).
3.3
Metode Pengumpulan Data
Dalam
melakukan penelitian, pengumpulan data merupakan proses yang sangat penting
karena jika tidak ada data yang terkumpul maka hasil suatu penelitian tidak
dapat dibuat. Metode pangumpulan data adalah golongan metode yang khusus
digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data (Netra, 1974:43). Data yang
diharapkan dalam penelitian ini adalah data tentang kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh
siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 yang berupa data
kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berupa angka atau menyatakan
jumlah.
Dalam
penelitian ini, untuk memperoleh data digunakan 4 metode, yaitu (1) metode tes;
(2) metode observasi; (3) metode kuesioner; (4) metode wawancara. Metode tes
dan metode observasi digunakan sebagai metode utama untuk memperoleh data
tentang kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran
2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada
Pakang Raras. Metode kuesioner digunakan sebagai metode pelengkap untuk
memperoleh data tentang kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa kelas XI
SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras, sedangkan
metode wawancara juga sebagai metode pelengkap untuk menguatkan metode
kuesioner.
3.3.1
Metode Tes
Metode tes adalah suatu alat yang digunakan untuk menilai
kemampuan siswa yang mencakup pengetahuan dan ketrampilan sebagai hasil dari
proses pembelajaran. Nurkancana dan Sunartana (1986:25), menyatakan pengertian
tes adalah sebagai berikut.
Tes
adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu tugas atau
serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak-anak atau sekelompok anak
sehingga menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau prestasi tentang
anak tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh anak-anak
atau dengan nilai standar yang ditetapkan.
Adapun
langkah-langkah yang dilakukan dalam mengumpulkan data tentang kemampuan menembangkan
Pupuh Ginada
Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2011/2012, yaitu (1) penyusunan instrument dan (2) pelaksanaan
tes. Berikut akan diuraikan secara lebih rinci mengenai dua langkah tesebut
adalah sebagai berikut.
3.3.1.1
Penyusunan Instrumen
Untuk mengumpulkan data
tentang kemampuan menembangkan Pupuh
Ginada Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2011/2012, maka diperlukan suatu proses penyusunan
instrument. Penyusunan instrument yang dimaksud adalah penyajian tes yang
digunakan sebagai instrument untuk mengumpulkan data.
Dalam penelitian ini
penyajian tes dilakukan dalam bentuk tes tindakan. Tes tindakan adalah tes yang
diberikan apabila jawaban atau respon yang diharapkan dari siswa berupa tingkah
laku (Nurkancana, 1986:26). Tes tindakan tersebut dilakukan untuk mengetahui
secara objektif kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh
siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012. Tes tindakan
dalam penelitian ini dilakukan dengan menyuruh siswa yang telah terpilih
sebagai sampel maju satu persatu kedepan kelas untuk menunjukan kemampuannya menembangkan
Pupuh Ginada
Pakang Raras dan dinilai oleh
peneliti sesuai dengan aspek penilaian menembangkan pupuh.
3.3.1.2
Pelaksanaan Tes
Pelaksanaan tes
dilakukan di SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 pada siswa kelas
XI. Pelaksanaan tes akan diawasi oleh peneliti yang juga dibantu oleh guru
bahasa Bali di sekolah tersebut agar pelaksanaan tes dapat berlangsung secara
wajar.
3.3.2 Metode Observasi
Menurut
Nurkancana (1990:50), observasi adalah suatu cara untuk mengadakan penelitian
dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung dan sistematis. Data-data
yang diperoleh dalam observasi itu dicatat dalam suatu catatan observasi.
Obseravasi juga bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.
Berdasarkan
jenisnya, observasi dibagi menjadi 2, yaitu observasi langsung dan observasi
tak langsung. Observasi langsung adalah yang dilakukan dimana peneliti berada
bersama objek yang diteliti, sedangkan observasi tak langsung adalah pengamatan
yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu peristiwa yang akan
diteliti.
Dalam
pelaksanaannya, metode observasi dapat dibagi menjadi 4, yaitu (1) observasi
partisipan; (2) observasi non partisipan; (3) observasi sistematis; (4)
observasi non sistematis. Observasi partisipan adalah suatu proses pengamatan
bagian dalam yang dilakukan oleh observer dengan ikut mengambil bagian dalam
kehidupan orang-orang yang akan diobservasi. Observasi non partisipan adalah
yang melakukan observasi tidak ikut dalam kehidupan orang yang diobservasi dan
secara terpisah berkedudukan sebagai pengamat. Observasi sistematis adalah yang
diselenggarakan dengan menentukan secara sistematis, faktor-faktor yang akan
diobservasi lengkap dengan kategorinya. Dengan kata lain wilayah atau ruang
lingkup observasi telah dibatasi secara tegas sesuai dengan masalah dan tujuan
penelitian. Observasi non sistematis adalah observasi yang dilakukan tanpa
terlebih dahulu mempersiapkan dan membatasi karangka yang akan diamati.
Berdasarkan
uraian di atas, dalam penelitian ini digunakan jenis metode observasi lagsung
secara sistematis karena dilaksanakan secara langsung dengan menentukan secara
sistematis hal-hal yang akan diobservasi lengkap dengan kategorinya. Dengan
kata lain wilayah atau ruang lingkup observasi telah dibatasi secara tegas
sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Metode observasi dalam penelitian
ini digunakan untuk mengamati dan mencatat secara langsung dan sistematis
gejala-gejala yang diteliti, yaitu kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Untuk lebih jelasnya, berikut ini
disajikan suatu pedoman observasi yang berisikan batasan ruang lingkup dalam
mengobservasi atau mengamati ketrampilan siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras, seperti tabel berikut ini.
Tabel
3.3 Pedoman Observasi Kemampuan Menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012
No.
|
Aspek
Penilaian
|
Rentang
Nilai
|
Kriteria
|
Skor
|
1.
|
Onek-onekan
|
1-4
|
Tidak ada kesalahan dalam membaca
dan pemenggalan kata
|
4
|
Ada salah satu (membaca atau
pemenggalan kata) salah
|
3
|
|||
Ada beberapa kesalahan dalam membaca
dan kurang tepat dalam pemenggalan kata
|
2
|
|||
Membaca dan pemenggalan kata keduanya
salah
|
1
|
|||
2.
|
Reng dan
suara
|
1-5
|
Pengambilan tinggi rendahnya suara
sudah tepat dan sesuai dengan laras
tembang serta memiliki kualitas suara yang bagus, yaitu suara memiliki
getaran, lentur dan mampu menghasilkan
alunan tembang yang indah/sempurna
|
5
|
Pengambilan tinggi rendahnya suara sudah tepat dan sesuai dengan laras tembang serta memiliki kualitas
suara yang bagus, tetapi suara kurang bergetar dan kurang lentur, sehingga alunan
tembang kurang indah/sempurna
|
4
|
|||
Pengambilan tinggi rendahnya suara
kurang sesuai dengan laras tembang
dan memiliki kualitas suara yang bagus tetapi suara belum memiliki getaran
dan kelenturan
|
3
|
|||
Pengambilan tinggi rendahnya suara
tidak sesuai dengan laras tembang
dan memiliki kualitas suara yang cukup bagus tetapi suara belum memiliki
getaran dan kelenturan
|
2
|
|||
Pengambilan tinggi rendahnya suara
tidak sesuai dengan laras tembang
dan memiliki kualitas suara yang kurang bagus, suara tidak memiliki getaran
dan kelenturan, sehingga suara yang keluar terdengar kaku
|
1
|
|||
3.
|
Padalingsa
|
1-4
|
Ketepatan dalam menembangkan guru ding-dong (nada akhir)
pada tiap baris pupuh sesuai dengan
guru ding-dong Pupuh Ginada Pakang Raras
|
4
|
No.
|
Aspek
Penilaian
|
Rentang
Nilai
|
Kriteria
|
Skor
|
3.
|
Padalingsa
|
1-4
|
Dalam menembangkan pupuh,
ada salah satu baris pupuh yang
tidak sesuai dengan guru ding-dong (nada
akhir) Pupuh Ginada
Pakang Raras
|
3
|
Dalam menembangkan pupuh,
ada beberapa baris pupuh yang tidak
sesuai dengan guru ding-dong (nada
akhir) Pupuh Ginada Pakang Raras
|
2
|
|||
Dalam menembangkan pupuh, ketepatan guru
ding-dong (nada akhir) pada tiap baris pupuh tidak sesuai dengan guru
ding-dong (nada akhir) Pupuh Ginada
Pakang Raras
|
1
|
|||
4.
|
Raras
|
1-4
|
Dalam menembangkan pupuh,
ekspresi
dan penjiwaanya sudah sesuai dengan karakter pupuh
|
4
|
Dalam menembangkan pupuh,
salah satu (ekspresi atau penjiwaan) kurang sesuai dengan karakter pupuh
|
3
|
|||
Dalam menembangkan pupuh,
ekspresi
dan penjiwaanya kurang sesuai dengan karakter pupuh
|
2
|
|||
Dalam menembangkan pupuh,
ekspresi
dan penjiwaanya tidak sesuai dengan karakter pupuh
|
1
|
|||
5.
|
Tikas
|
1-4
|
Dalam menembangkan pupuh, penampilan
bagus, tenang, lancar dan tidak gugup dari awal menembangkan pupuh sampai berakhir
|
4
|
Dalam menembangkan pupuh,
penampilan baik, tenang tetapi masih terlihat gugup
|
3
|
|||
Dalam menembangkan pupuh,
penampilan cukup tetapi kurang tenang sehingga terkesan gugup
|
2
|
|||
Dalam menembangkan pupuh,
penampilan kurang,
tidak tenang, tergesa-gesa, dan gugup
|
1
|
3.3.3 Metode Kuesioner
Metode
kuesioner digunakan untuk megetahui kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh
siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan
Pupuh Ginada Pakang Raras. Metode
Kuesioner adalah suatu alat pengumpulan informasi dengan cara menyampaikan
sejumlah pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kuesioner langsung dimana
daftar pertanyaannya langsung diberikan kepada siswa yang ingin dimintai
pendapat. Jenis pertanyaan kuesioner ada 2 jenis, yaitu pertanyaan tertutup dan
terbuka. Pertanyaan tertutup adalah jenis pertanyaan yang jawabannya sudah
disediakan oleh peneliti, sedangkan pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang
jawabannya tidak ditentukan terkebih
dahulu, tetapi responden bebas memberikan jawaban.
Dalam
penelitian ini, jenis pertanyaan kuesioner yang digunakan adalah jenis
pertanyaan tertutup dimana jawaban dari pertanyaan tersebut sudah disediakan
peneliti dan responden bebas memilih jawaban yang telah disediakan. Pertanyaan
yang dijawab oleh responden adalah pertanyaan yang berkaitan dengan
kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Dalam pelaksanaannya, masing-masing
siswa kelas siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012
diberikan lembar kertas yang berisi sejumlah pertanyaan dan pilihan jawaban
yang harus dipilih oleh siswa secara jujur.
3.3.4 Metode
Wawancara
Menurut Zuriah
(2006:176), wawancara adalah alat pengumpulan informasi dengan cara mengajukan
sejumlah pertanyaan secara lisan untuk
dijawab secara lisan pula. Ciri utama wawancara adalah adanya kontak langsung
dengan tatap muka antara pencari informasi dengan sumber informasi.
Dalam
penelitin ini, metode wawancara digunakan untuk menguatkan metode kuesioner
yang terkait dengan rumusan masalah yang kedua, yaitu kesulitan-kesulitan yang
dirasakan oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012
dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang
Raras. Jadi, wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang
kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Dalam hal ini, siswa kelas XI SMA Negeri
8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 yang menjadi sumber informasi dan peneliti
sebagai pencari informasi.
Dalam
pelaksanaannya wawancara terdiri atas 2 jenis, yaitu wawancara berstruktur dan
wawancara mendalam. Wawancara berstruktur adalah wawancara yang dipandu dengan
daftar pertanyaan, sedangkan wawancara mendalam adalah wawancara yang dilakukan
untuk memperoleh informasi lebih mendalam tentang jati diri informan. Dalam hal
ini, antara pewawancara ataupun informan boleh berbicara bebas.
Berdasarkan
uraian di atas, dalam penelitian ini digunakan wawancara berstruktur, mengingat
peneliti telah menyiapkan daftar pertanyaan tertulis yang nantinya dijawab
langsung oleh siswa yang diwawancarai.
3.4 Metode Pengolahan Data
Setelah
data terkumpul maka dilanjutkan dengan proses pengolahan data. Data mentah yang
diporoleh harus diolah sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini,
metode yang digunakan untuk mengolah data adalah metode analisis deskriftif. Sugiyono
(1999:13-14) menyatakan bahwa metode analisis deskriftif adalah statistik yang digunakan
untuk menggambarkan atau mendeskripsikan objek yang diteliti melalui data
sampel atau populasi sebagaimana adanya, tetapi tidak digunakan untuk membuat simpulan
yang lebih luas. Adapun
langkah-langkah yang dilakukan dalam mengolah data, yaitu (1) mengubah skor
mentah menjadi skor standar; (2) menentukan kriteria predikat; (3)
mengelompokan prestasi siswa; (4) mencari skor rata-rata; (5) menarik simpulan.
3.4.1 Mengubah
Skor Mentah Menjadi Skor Standar
Karena data yang terkumpul masih berupa skor mentah, maka langkah
selanjutnya adalah mengubah skor mentah tersebut menjadi skor standar. Adapun
langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengubah skor mentah tersebut
menjadi skor standar, yaitu (1) menentukan skor maksimal ideal dan (2) membuat
pedoman konversi.
3.4.1.1 Menentukan Skor Maksimal Ideal (SMI)
Skor maksimal ideal adalah skor tertinggi yang mungkin dicapai oleh siswa
apabila dapat menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras dengan baik dan benar sesuai dengan aspek-aspek
yang dinilai. Penilaian kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh
Ginada Pakang Raras terdiri dari lima
aspek, yaitu (1) onek-onekan;
(2) reng dan suara; (3), padalingsa; (4) raras; (5) tikas. (1) onek-onekan skor maksimalnya adalah 4; aspek (2) reng dan suara skor maksimalnya adalah 5;
aspek (3) padalingsa skor maksimalnya
adalah 4; (4) raras skor maksimalnya
adalah 4; (5) tikas skor maksimalnya
adalah 4. Jadi jika siswa dapat menembangkan
Pupuh
Ginada Pakang Raras dengan sempurna, maka skor maksimal ideal
(SMI) yang dicapai adalah 4 + 5 + 4 + 4 + 4 = 21.
3.4.1.2 Membuat
Pedoman Konversi
Membuat
pedoman konversi digunakan untuk mengubah skor mentah menjadi skor skor standar.
Dalam penelitian ini, untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar digunakan
pedoman konversi norma absolut skala
100. Skala 100 adalah skala yang bergerak antara nol sampai seratus. Skala 100
juga disebut skala persentil. Untuk mengkonversikan skor mentah menjadi skor
standar dengan norma absolut skala
100 digunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan:
P = persentil
X = skor yang
dicapai
SMI = skor maksimal
ideal
(Gunartha, 2009:74)
Misalnya seorang siswa mendapatkan
skor mentah 21, maka skor standarnya adalah
3.4.2
Menentukan Kriteria Predikat
Untuk menentukan kriteria predikat
kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras, maka skor standar yang diperoleh harus
dikonversikan dengan kritera predikat. Adapun kriteria predikat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
Tabel 3.4 Kriteria Predikat Menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh Siswa
Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012
No.
|
Skor Standar
|
Kriteria/Predikat
|
1.
|
90–100
|
Sangat Baik
|
2.
|
75–89
|
Baik
|
3.
|
60–74
|
Cukup
|
4.
|
≤ 59
|
Kurang
|
(Depdiknas, 2006:3)
Adapun kriteria ketuntasan minimal
(KKM) yang ditetapkan dalam mata pelajaran bahasa Bali kelas XI SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 adalad sebagai berikut.
Tabel 3.5 Kriteria Ketuntasan Minimal Mata
Pelajaran Bahasa Bali Kelas XI SMA Negeri
8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012
Rentangan Nilai
|
Ketuntasan
|
72-100
|
Tuntas
|
<72
|
Tidak tuntas
|
3.4.3 Mengelompokkan Prestasi Siswa
Pada tahap ini kemampuan siswa dalam
menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras dikelompokan berdasarkan jumlah presentasenya.
Misalnya, berapa siswa yang mendapatkan nilai 65, berapa orang yang mendapat
nilai 70, dan seterusnya.
3.4.4 Mencari Skor Rata-rata
Untuk mencari skor rata-rata
kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada pakang Raras didapat dengan menjumlahkan nilai seluruh
siswa, kemudian dibagi dengan jumlah seluruh siswa. Hal tersebut dapat dicari
dengan rumus di bawah ini.

Keterangan:
Me = mean (rata-rata)
∑ = Epsilon (dibaca jumlah)
Xi = nilai X ke- i sampai ke n
n = jumlah individu
(
Sugiyono, 1999:42-43)
Berdasarkan skor rata-rata yang
diperoleh, dapat diketahui secara keseluruhan kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri
8 tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada pakang Raras.
3.4.5
Menarik Simpulan
Berdasarkan skor
rata-rata yang diperoleh. dapat disimpulkan kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri
8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan
pupuh Ginada Pakang Raras sebagai hasil akhir suatu penelitian setelah
mengikuti proses pengumpulan dan pengolahan data.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar