Kamis, 31 Oktober 2013

Pupuh Ginada Pakang Raras


KEMAMPUAN MENEMBANGKAN PUPUH GINADA PAKANG RARAS
OLEH SISWA KELAS XI SMA NEGERI 8 DENPASAR
TAHUN PELAJARAN
2011/2012



SKRIPSI



Oleh:

NI NYOMAN TOYANTARI
2008.II.2.0057







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DAN DAERAH
BIDANG ILMU PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA BALI
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI BALI
DENPASAR
2012
ABSTRAK

KEMAMPUAN MENEMBANGKAN PUPUH GINADA PAKANG RARAS OLEH SISWA KELAS XI SMA NEGERI 8 DENPASAR TAHUN PELAJARAN 2011/2012

Ni Nyoman Toyantari, NIM 2008.II.2.0057, 2012, 86 halaman

            Pupuh merupakan bagian dari kesusastraan tembang Tradisional Bali sekaligus sebagai bagian dari kebudayaan Bali yang  menjadi salah satu tradisi dan berperan penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Oleh karena itu, keberadaan pupuh harus dijaga kelestariannya oleh generasi muda agar nantinya tetap dapat tumbuh, berkembang, dan lestari. Namun saat ini, perkembangan pupuh mengalami kondisi yang memprihatinkan, khususnya di kalangan generasi muda karena kurangnya minat, perhatian, dan pemahaman generasi dalam mempelajari pupuh.
            Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kemampuan siswa dan kesulitan yang dialami oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Secara praktis manfaat penelitian ini adalah (1) untuk meningkatkan motivasi siswa belajar matembang, (2) dapat digunakan sebagai acuan oleh guru dalam pembelajaran, (3) dapat dijadikan sebagai acuan oleh penyusun materi ajar bahasa Bali, dan (4) dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan kurikulum bahasa Bali.
            Sebagai landasan karangka berpikir dan untuk menunjang penelitian ini, digunakan sejumlah teori yang relevan dengan objek kajian peneliti, diantaranya: (1) kesusastraan Bali, (2) tembang, (3) pupuh, (4) Pupuh Ginada, (5) Pupuh Ginada Pakang Raras, (6) aspek penilaian dalam pupuh, (7) apresiasi sastra, dan (8) apresiasi Pupuh Ginada Pakang Raras.
            Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) metode penentuan subjek penelitian, (2) metode pendekatan subjek penelitian, (3) metode pengumpulan data, dan (4) metode pengolahan data. Dalam penentuan subjek penelitian digunakan sampel sebanyak 368 orang. Metode pendekatan sampel penelitian yang digunakan adalah metode empiris. Untuk mengumpulkan data digunakan metode tes, observasi, kuesioner, dan wawancara. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan metode statistik deskriptif.
            Hasil penelitian menunjukan, (1) Kemampuan Menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012 adalah baik dengan nilai rata-rata skor standar 75, (2) Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa lebih banyak terlihat dalam aspek reng dan suara.
            Sehubungan dengan simpulan tersebut saran yang dapat dikemukan yakni: (1) siswa harus lebih banyak belajar dan berlatih matembang, (2) dalam mengajar guru hendaknya lebih bersikap inovatif, (3) guru harus banyak memberikan pelatihan-pelatihan matembang, dan (4) guru dalam mengajarkan tembang seharusnya dari konsep dasar, yakni titi laras tembang.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dimiliki oleh  Negara Indonesia yang kaya akan warisan karya sastra. Karya sastra tersebut memiliki nilai-nilai luhur dan adiluhung yang telah hidup dalam masyarakat Bali sejak masa lampau. Bentuk-bentuk karya sastra Bali itu sendiri sangat beragam yang dapat ditinjau dari beberapa hal, baik dari segi bahasa yang digunakan, struktur penulisannya, cara atau tradisi penyampaiannya, dan berdasarkan sejarah perkembangannya. Himpunan-himpunan bentuk karya sastra Bali yang beragam tersebut kemudian disebut dengan istilah kesusastraan Bali (Wisnu, 2005:8).  Jadi dapat disimpulkan bahwa, kesusastraan Bali adalah himpunan dari karya-karya sastra yang berbahasa Bali, baik bahasa Bali Tengahan maupun bahasa Bali Anyar yang menjadi salah satu khazanah budaya Bali, merupakan warisan dari para leluhur secara turun temurun sejak zaman dahulu dan hingga saat ini dilestarikan keberadaannya. Kesusastraan Bali sebagai salah satu pendukung dari kebudayaan Bali merupakan cerminan dari pola kehidupan masyarakat Bali yang berlandaskan adat-istiadat yang kuat serta bersumber pada agama Hindu.
Bentuk-bentuk kesusastraan Bali dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu (1) berdasarkan bahasa yang digunakan, kesusastraan Bali terbagi menjadi 3, yaitu (a) kesusastraan yang menggunakan bahasa Bali; (b) kesusastraan yang menggunakan bahasa Jawa Kuna; (c) kesusastraan yang menggunakan bahasa Bali/Jawa Tengahan;  (2) berdasarkan cara penyampaian, kesusastraan Bali dibagi menjadi 2, yaitu (a) kesusastraan Bali Tutur/Lisan dan (b) kesusastraan Bali  Sasuratan/Tulisan; (3) berdasarkan pada masa keberadaannya, kesusastraan Bali terbagi menjadi 2, yaitu (a) kesusatraan Bali Tradisional/Purwa dan (b) kesusastraan Bali Modern/Anyar; (4) berdasarkan bentuknya, kesusatraan Bali dibagi menjadi 2, yaitu (a) kesusastraan Bali yang berbentuk gancaran/prosa dan (b) kesusastraan Bali yang berbentuk tembang/puisi. Selanjutnya, kesusastraan yang berbentuk tembang di Bali disebut dengan sekar. Sekar  ini dibagi lagi menjadi beberapa bentuk yaitu, Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madya, dan Sekar Agung.  Sekar Rare ini berbentuk lagu, seperti: lagu Guak Maling Taluh, Meong-meong, Juru Pencar, Gending Janger, dan Gending Sanghyang. Dan Sekar Alit berbentuk pupuh, Sekar Madya berbentuk kidung serta Sekar Agung berbentuk kakawin (Nukanaya, dkk, 2005:12).
Sekar Alit yang berupa pupuh, jika dilihat dari bentuk-bentuk kesusastraan Bali, yaitu (1) dilihat dari segi bahasa yang digunakan, pupuh merupakan kesusastraan  Bali yang mengunakan bahasa Bali; (2) dilihat dari segi cara penyampaiannya, pupuh merupakan kesusastraan Bali Tutur/Lisan; (3) dilihat dari masa keberadaannya, pupuh merupakan kesusastraan Bali Purwa/Tradisional; (4) dilihat dari segi bentuknya, pupuh merupakan kesusastraan Bali yang berbentuk tembang/puisi.
Pupuh adalah sebuah karya sastra tradisional yang berbentuk lagu dan terikat oleh aturan padalingsa. Secara umum pupuh yang ada di Bali terdiri dari sepuluh jenis, di antaranya: (1) Pupuh Maskumambang; (2) Pupuh Ginanti; (3) Pupuh Durma; (4) Pupuh Dandang Gula; (5) Pupuh Sinom; (6) Pupuh Semarandana; (7) Pupuh Mijil; (8) Pupuh Pucung; (9) Pupuh Pangkur; (10) Pupuh Ginada (Nukanaya, dkk, 2005:10). Semua jenis-jenis pupuh tersebut memiliki pembagian dan karakteristiknya masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, antara Pupuh Pucung dan Pupuh Ginada memiliki karakter tembang yang berbeda. Pupuh Pucung memiliki karakter tembang yang melukiskan kesenangan, sedangkan Pupuh Ginada memiliki karakter tembang yang melukiskan kesedihan dan kekecewaan, tetapi terdapat juga Pupuh Ginada yang melukiskan kegembiraan dan  perdamaian. Pupuh Ginada berdasarkan titi larasnya dibedakan atas tujuh jenis, yaitu (1) Pupuh Ginada Lumrah/Dasar; (2) Pupuh Ginada Jayaprana; (3) Pupuh Ginada Bungkling/Eman-eman; (4) Pupuh Ginada Candrawati; (5) Pupuh Ginada Basur; (6) Pupuh Ginada Pakang Raras; (7) Pupuh Ginada Bagus Umbara; (8) Pupuh Ginada Linggar Petak (Nukanaya dkk, 2005:12).
Menembangkan pupuh merupakan salah satu tradisi di Bali yang merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam kehidupan beragama. Dalam setiap upacara keagamaan di Bali, tembang selalu hadir di dalamnya sebagai suatu pelengkap atau pendukung yang harus ada dalam upacara agama. Suatu  upacara akan terasa inang (sepi) dan tidak lengkap jika tidak diiringi suatu tembang baik Sekar Alit yang berupa pupuh, Sekar Madia yang berupa kidung, maupun Sekar Agung yang berupa kakawin.
Melihat fungsi dari suatu tembang seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan keberadaan salah satu bentuk tembang, yaitu pupuh sampai saat ini masih hidup dan berkembang serta masih dipakai sebagai sarana untuk mendukung upacara agama di Bali. Dalam perkembangannya, kesusastraan tembang di Bali disebut dengan dharmagita. Suarka (2009:4), mengatakan dharmagita adalah suatu nyanyian kebenaran, nyanyian keadilan yang dinyanyikan dalam pelaksanaan upacara agama Hindu. Dharmagita sangat berperan dalam kegiatan upacara agama sebagai pencurahan perasaan bakti dan pembimbing pikiran menuju suatu kebenaran. Hal ini dikarenakan dharmagita mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, dan pelukisan kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya. Dengan memperhatikan kedudukan dharmagita sebagai bagian dari budaya Bali yang berperan penting dalam kehidupan umat Hindu, maka transformasi dharmagita kepada generasi muda sangat perlu dilakukan sejak dini. Dalam rangka transformasi atau pewarisan tersebut diperlukan cara-cara tertentu, sehingga dharmagita tetap dapat tumbuh, berkembang, dan lestari. Hal tersebut juga didukung oleh Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Bali No. 3 Tahun 1992 yang menghimbau pelestarian bahasa, aksara, dan kesusastraan Bali (Gautama, 2006:6).
Di tengah gempuran arus modernisasi saat ini, kesusastraan tembang di Bali, khususnya pupuh mengalami kondisi yang cukup memprihatinkan. Hingga saat ini pupuh kurang mendapatkan perhatian dari kalangan generasi muda di Bali mengingat banyaknya tradisi atau budaya barat yang masuk ke Indonesia, khususnya ke Bali. Hal ini dapat dilihat dari para generasi muda yang lebih banyak dan lebih cenderung tertarik melantunkan lagu-lagu modern masa kini dibandingkan melantunkan tembang tradisional Bali, yaitu pupuh. Lebih-lebih untuk melantunkannya, untuk mengenal bentuk pupuh saja mereka kurang berminat, sehingga secara kuantitas sedikit sekali generasi muda di Bali yang bisa menembangkan tembang tradisional Bali yang berupa pupuh. Selain itu juga, dapat dilihat dari sedikitnya ditemukan sekaa pasantian (sebuah kelompok yang beranggotakan orang-orang pencinta seni suara dan seni sastra bali klasik) di Bali yang beranggotakan anak-anak muda. Di dalam sekaa pasantian inilah seharusnya sebagai wadah generasi muda untuk mempelajari dan mendalami sastra tembang atau bentuk-bentuk sastra Bali tradisional lainnya, sehingga tembang tradisional Bali dapat tumbuh, berkembang, dan lestari. Tetapi, justru sekaa pasantian saat ini kebanyakan beranggotakan orang-orang yang sudah tua dan yang mampu menembangkan tembang Bali tradisional  baik yang berbentuk kakawin, kidung, geguritan, maupun pupuh. Seharusnya, dalam hal pelestarian budaya Bali, khususnya dalam kesusastraan tembang generasi muda memiliki peranan penting karena bagaimanapun juga keberadaan dan kelestarian budaya Bali kelak ada di tangan generasi muda. Entah bagaimana kelak keberadaan dan kelestarian kesusastraan tembang tanpa didukung oleh para generasi muda. Salah satu penyebab dari beberapa masalah yang dihadapi oleh sastra tembang tersebut adalah kurangnya minat generasi muda mempelajari tembang tradisional Bali khususnya yang berbentuk pupuh. Kurangnya minat siswa di dalam belajar menembangkan pupuh disebabkan karena banyaknya siswa yang beranggapan bahwa belajar menembangkan pupuh sangat sulit dan membutuhkan suara yang bagus serta dianggap sesuatu yang kuna. Oleh sebab itu, tembang tradisional Bali kurang mendapatkan tempat di hati para genersai muda, yang dalam hal ini adalah siswa.
Melihat keadaan sastra tembang yang seperti itu, maka muncul kekhawatiran dari berbagai kalangan akan keberadaan dan kelestarian budaya Bali, khususnya sastra tembang mengingat pelestarian sastra tembang hanya dilakoni oleh orang-orang tua saja. Dalam hal ini, pemerintah ataupun lembaga-lembaga tertentu mengambil suatu cara untuk melestarikan budaya Bali dengan jalan mengadakan perlombaan-perlombaan nyastra yang salah satu lombanya adalah macapat. Tetapi, cara tersebut tidak terlalu menunjukan keefektifannya sebagai jalan untuk melestarikan sastra tembang tradisional Bali. Maka dari itu, Pemerintah Daerah mengambil langkah lain, yaitu dengan memasukan pelajaran matembang dalam mata pelajaran muatan lokal baik di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang wajib diikuti oleh semua siswa. Siswa diharapkan dapat menguasai tembang/pupuh-pupuh. Dalam hal ini, guru sangat memegang peranan penting dalam mengajarkan para siswa belajar matembang, dimana diperlukan adanya suatu penggunaan metode pengajaran yang tepat. Artinya, dalam belajar matembang guru hendaknya mampu memilih metode pengajaran yang tepat dan mengkombinasikan beberapa metode pengajaran yang ada agar mampu menarik minat para siswa untuk belajar matembang dan menumbuhkan rasa senang para siswa dalam belajar matembang.
Berpijak dari uraian di atas, maka dalam penelitian ini penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan mengenai kemampuan siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Dipilihnya Pupuh Ginada Pakang Raras karena (1) dari beberapa penelitian tentang  Pupuh Ginada, Pupuh Ginada Pakang Raras belum ada yang meneliti; (2) Pupuh Ginada Pakang Raras sudah sesuai dengan materi pelajaran matembang di tingat Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI; (3) penulis ingin mengetahui tingkat perhatian siswa turut serta dalam pelestarian sastra tembang, khususnya pupuh di tengah gempuran arus modernisasi saat ini. Penelitian ini penting dilakukan karena melihat banyaknya masalah atau kendala-kendala yang dihadapi dalam rangka melestarikan sastra tembang tradisional Bali, dimana terjadi kesenjangan antara apa yang diharapkan oleh kalangan-kalangan tertentu dalam hal pelestarian sastra tembang tradisional Bali dengan kenyataan dilapangan yang terjadi sekarang ini. Kesenjangan juga terjadi antara kenyataan di lapangan dengan kurikulum muatan lokal bahasa Bali yang salah satu indikatornya pada menyimak pupuh adalah siswa mampu menembangkan pupuh melalui kegiatan menyimak. Masalah-masalah tersebut harus dicarikan solusi melalui penelitian ilmiah agar tembang tradisional Bali tidak dilupakan dan tersingkir oleh zaman. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat memupuk dan membina minat siswa dalam hal matembang karena jika mendalami seni tembang akan dapat memberikan nilai positif bagi kehidupan melalui ajaran etika dan moral yang terdapat di dalamnya. Maka dari itu, dalam penelitian ini penulis meneliti permasalahan yang berjudul “Kemampuan Menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012”.
1.2 Rumusan Masalah
            Masalah pokok yang akan menjadi bahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.    Bagaimanakah kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras       oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012?
2.    Apa sajakah kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa dalam  menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras?

1.3 Tujuan Penelitian
            Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum
            Secara umum penelitian ini penulis lakukan untuk menginformasikan bentuk- bentuk kesusastraan Bali kepada masyarakat luas, sehingga nantinya dapat menambah pemahaman dan memupuk kecintaan masyarakat Bali terhadap kesusastraan Bali, khususnya kesusastraan tembang berupa pupuh, yaitu Pupuh Ginada Pakang Raras yang merupakan salah satu pendukung dari kebudayaan Bali sekaligus kebudayaan Nasional. Dan penulis juga ingin meningkatkan apresiasi sastra siswa, yaitu apresiasi terhadap karya sastra Bali, serta untuk mendorong perkembangan kesusastraan Bali, khususnya kesusastraan tembang.


1.3.2 Tujuan Khusus
            Secara khusus penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012.
2.      Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras.

1.4 Manfaat Penelitian
            Mengacu dari tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adapun beberapa manfaat dari hasil penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas dalam bidang pendidikan, khususnya dalam memahami kesusastraan Bali yang berbentuk tembang , yaitu pupuh. Hasil penelitian juga diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang sejenis, yaitu meneliti tentang pupuh.

1.4.2 Manfaat Praktis
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis kepada berbagai kalangan, yaitu sebagai berikut.


1.        Bagi siswa
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar matembang sehingga nantinya dapat meningkatkan apresiasi sastra siswa dalam belajar matembang, khususnya menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras.
2.        Bagi guru
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam proses pembelajaran bahasa Bali, khususnya dalam penyampaian pelajaran matembang dan dapat dijadikan umpan balik dalam pemilihan strategi pembelajaran dan metode pembelajaran yang tepat dalam pelajaran matembang sehingga dapat meningkatkan daya tarik para siswa untuk belajar matembang.
3.        Bagi penyusun materi ajar bahasa Bali
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam menyusun materi ajar bahasa Bali, khususnya dalam pemilihan materi matembang yang tepat dan sesuai dengan jenjang pendidikan.
4.        Bagi tim penyusun kurikulum
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan kurikulum bahasa Bali untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa Bali yang lebih baik.



1.5 Ruang Lingkup Penelitian
            Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah yang akan diteliti untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menafsiran objek kajian penelitian dan mengingat keterbatasan pemahaman dan pengetahuan penulis pada objek kajian penelitian. Berkenaan dengan hal tersebut, maka jangkauan penelitian ini hanya terbatas pada kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012. Adapun aspek-aspek yang digunakan sebagai acuan untuk menilai kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras yang meliputi lima aspek, yaitu (1) onek-onekan; (2) reng; (3) padalingsa; (4) raras; (5) tikas.

1.6 Asumsi
            Menurut Hadi (1978:10), asumsi adalah kebenaran teori atau pendapat yang dijadikan dasar dalam penelitian. Asumsi disejajarkan dengan anggapan dasar atau praduga (Jendra, 1981:15). Pendapat lain mengatakan bahwa asumsi adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti, yang harus dirumuskan secara jelas, dan akan berfungsi sebagai hal-hal yang dipakai tempat untuk berpijak bagi peneliti dalam melaksanakan penelitiannya, serta dipakai memperkuat permasalahannya (Arikunto, 1993:59). Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi adalah anggapan dasar yang berupa fakta yang tidak diragukan lagi kebenarannya dan digunakan sebagai landasan untuk berpijak bagi peneliti dalam melakukan penelitiannya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa asumsi yang digunakan sebagai landasan untuk berpijak dalam melakukan penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1.        Siswa kelas XI SMA Negeri Denpasar sudah diajarkan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras sesuai dengan kurikulum yang berlaku (KTSP).
2.        Guru yang mengajar bahasa Bali yang di dalamnya memuat kompetensi menembangkan pupuh di SMA Negeri 8 Denpasar sudah memiliki kewenangan dan kualifikasi mengajar.
3.        Perbedaan jenis kelamin siswa, baik laki-laki maupun perempuan tidak mempengaruhi hasil penelitian ini.
           












BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka
            Berbicara mengenai penelitian tentang pupuh yang pernah ada, penulis menemukan lima buah penelitian tentang pupuh yang sudah lebih dahulu dilakukan yang sekaligus penulis gunakan sebagai perbandingan dan menghindari pengulangan penelitian yang sama. Penelitian tersebut meliputi:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ayu Giliani Putri, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, IKIP PGRI BALI yang meneliti tentang “Kemampuan Menembangkan Pupuh Ginada Dasar oleh Siswa Kelas VII SMA Negeri 4 Abiansemal, Kabupaten Badung Tahun Pelajaran 2010/2011”. Objek yang diteliti adalah kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Dasar dengan subjek penelitian siswa Kelas VII SMA Negeri 4 Abiansemal . Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 4 Abiansemal, Kabupaten Badung pada tahun 2010/2011. Ruang lingkup penelitian terbatas pada kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Dasar dengan aspek penilaian yang terdiri dari: (a) teknik (onek-onekan, reng, dan padalingsa); (b) penguasaan materi; (c) penampilan. Penelitian ini menggunakan empat metode, yaitu: (a) metode penentuan subjek penelitian; (b) metode pendekatan subjek penelitian; (c) metode pengumpulan data; (d) metode pengolahan data. Dalam penentuan subjek penelitian digunakan metode sampel karena jumlah populasi lebih dari 100 orang yaitu 310 orang siswa yang tersebar pada tujuh kelas. Sampel yang diambil sebesar 30% dari jumlah populasi. Metode pendekatan subjek penelitian dalam penelitian ini adalah metode empiris. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode tes berupa tes tindakan. Untuk pengolahan data penelitian digunakan metode statistik deskriftif.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan Lusiani, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerahan, IKIP PGRI BALI, yang meneliti tentang “Kemampuan Matembang Pupuh Sinom oleh Siswa Kelas V SD Plus Widiatmika Jimbaran Badung Tahun Pelajaran 2009/2010”. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah kemampuan matembang Pupuh Sinom dengan subjek penelitian siswa kelas V SD Plus Widiatmika Jimbaran Badung. Penelitian ini dilaksanakan di SD Plus Widiatmika Jimbaran Badung pada tahun 2009/2010. Ruang lingkup penelitian terbatas pada kemampuan matembang Pupuh Sinom dengan aspek penilaian yang terdiri dari: (a) onek-onekan; (b) reng; dan (c) raras. Mengenai metode, penelitian ini juga menggunakan empat metode, yaitu: (1) metode penentuan subjek penelitian; (2) metode pendekatan subjek penelitian; (3) metode pengumpulan data; (4) metode pengolahan data. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan metode populasi dengan jumlah 53 orang siswa yang tersebar pada dua kelas. Metode pendekatan subjek penelitian dalam penelitian ini adalah metode empiris. Dalam mengumpulkan data digunakan metode observasi dan metode tes berupa tes tindakan. Untuk pengolahan data penelitian digunakan metode statistik deskriftif.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ayu Megayanti, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, IKIP PGRI BALI, yang meneliti tentang “Perbedaan Kemampuan Mengapresiasi Pupuh Ginada dan Pupuh Durma oleh Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 2 Kuta Badung, Tahun Pelajaran 2009/2010”. Objek yang diteliti adalah perbedaan kemampuan mengapresiasi Pupuh Ginada dan Pupuh Durma dengan subjek penelitian siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Kuta Badung. Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 2 Kuta Badung pada tahun 2009/2010. Ruang lingkup penelitian tergolong luas karena mengungkapkan perbedaan kemampuan menembangkan dua jenis pupuh, yaitu Pupuh Ginada dan Pupuh Durma pada subjek yang sama. Aspek yang dinilai adalah suara, wilet, reng, onek-onekan, dan raras.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh I Gede Sutaya, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, IKIP PGRI BALI, yang meneliti tentang “Kemampuan Menembangkan Pupuh Semarandana Siswa Kelas X SMA Negeri Amlapura Tahun Pelajaran 2010/2011”. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah kemampuan menembangkan Pupuh Semarandana dengan subjek penelitian  siswa kelas X SMA Negeri Amlapura. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri Amlapura pada tahun 2010/2011. Ruang lingkup penelitian terbatas pada kemampuan menembangkan Pupuh Semarandana dengan aspek penilaian yang terdiri dari: (a) onek-onekan; (b) reng; (c) padalingsa; (d) raras. Penelitian ini menggunakan empat metode, yaitu: (1) metode penentuan subjek penelitian; (2) metode pendekatan subjek penelitian; (3) metode pengumpulan data; (4) metode pengolahan data. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan metode sampel karena jumlah populasi lebih dari 100 orang yaitu 142 orang siswa yang tersebar pada empat kelas. Sampel yang diambil sebesar 60% dari jumlah populasi. Metode pendekatan subjek penelitian dalam penelitian ini adalah metode empiris. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode observasi dan metode tes berupa tes tindakan. Untuk pengolahan data penelitian digunakan metode statistik deskriftif.
Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Sang Made Joni, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, IKIP PGRI BALI, yang meneliti tentang “Kemampuan Matembang Pupuh Mijil Siswa Kelas IV SD Gugus Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung Tahun Pelajaran 2010/2011”. Objek yang diteliti adalah kemampuan matembang Pupuh Mijil dengan subjek penelitian siswa kelas IV SD Gugus Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung. Penelitian dilaksanakan di SD Gugus Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung pada tahun 2010/2011. Penelitian ini juga menggunakan empat metode, yaitu: (1) metode penentuan subjek penelitian; (2) metode pendekatan subjek penelitian; (3) metode pengumpulan data; (4) metode pengolahan data. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan metode populasi dengan jumlah 77 orang siswa yang tersebar pada lima sekolah. Dalam melakukan pendekatan dengan subjek penelitian digunakan metode empiris. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode observasi, metode tes berupa tes tindakan dan metode wawancara. Untuk pengolahan data penelitian digunakan metode statistik deskriftif.
Berdasarkan uraian kajian pustaka tersebut dapat dinyatakan bahwa penelitian tentang kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras belum ada yang meneliti. Walaupun terdapat beberapa kesamaan antara penelitian yang penulis lakukan dengan kelima penelitian di atas dalam hal mengukur kemampuan siswa menembangkan pupuh, namun yang membedakan antara penelitian yang penulis lakukan dengan kelima penelitian di atas adalah: (1) objek penelitian; (2) subjek penelitian; (3) tempat penelitian; (4) tahun penelitian; (5) ruang lingkup penelitian; (6) metode penelitian. Objek penelitian yang penulis teliti adalah kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras dengan subjek penelitian siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar. Penelitian penulis laksanakan di SMA Negeri 8 Denpasar pada tahun 2011/2012. Ruang lingkup penelitian terbatas pada kemampuan menembangkan pupuh Ginada Pakang Raras dengan aspek penilaian yang terdiri dari: (a) onek-onekan; (b) reng; (c) padalingsa; (d) raras; (e) tikas. Dalam penelitian ini penulis menggunakan empat metode, yaitu: (a) metode penentuan subjek penelitian; (b) metode pendekatan subjek penelitian; (c) metode pengumpulan data; (d) metode pengolahan data. Dalam penentuan subjek penelitian digunakan metode sampel karena jumlah populasi lebih dari 100 orang yaitu 613 orang siswa yang tersebar pada empat belas kelas. Sampel yang diambil sebesar 60% dari jumlah populasi. Metode pendekatan subjek penelitian yang penulis gunakan adalah metode empiris. Pengumpulan data dalam penelitian ini penulis menggunakan dengan metode observasi, metode tes berupa tes tindakan, metode wawancara, dan metode kuesioner. Untuk pengolahan data penelitian, penulis menggunakan metode analisis deskriftif.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Kesusastraan Bali
2.2.1.1 Pengertian Kesusastraan Bali
Kesusastraan merupakan hasil daya cipta pengarang berdasarkan ilham atau wahyu, lalu dikarang menggunakan bahasa yang baik dan indah. Untuk mengetahui suatu gambaran tentang masyarakat Bali, yang meliputi tingkah laku, watak, kehidupan maupun kebudayaan dan yang lainnya dapat dilakukan dengan membaca kesusastraan Bali (Gautama, 2007:28). 
            Kesusasatraan Bali merupakan himpunan karya-karya sastra yang berbahasa Bali, baik bahasa Bali Tengahan maupun bahasa Bali Anyar. Karya-karya sastra yang diciptakan oleh para sastrawan adalah untuk dinikmati, dipahami, dan nilai-nilai karya sastra tersebut dapat diambil hikmahnya serta diamalkan. Sastra Bali merupakan pendukung adat, agama, serta cermin kebudayaan daerah yang tidak terlepas dari pola kehidupan masyarakat Bali yang berlandaskan adat-istiadat yang kuat serta bersumber pada moral dan agama Hindu.

2.2.1.2 Bentuk-bentuk  Kesusastraan Bali
            Bentuk-bentuk kesusastraan Bali dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu sebagai berikut.
1.        Berdasarkan bahasa yang digunakan, kesusastraan Bali terbagi menjadi 3, yaitu:
a.    kesusastraan yang menggunakan bahasa Bali;
b.    kesusastraan yang menggunakan bahasa Jawa Kuna;
c.    kesusastraan yang menggunakan bahasa Bali/Jawa Tengahan (Nukanaya dkk, 2005:7).
2.        Berdasarkan bentuk, kesusatraan Bali dibagi menjadi 2, yaitu:
a.    kesusastraan Bali yang berbentuk tembang/puisi,
b.    kesusastraan Bali yang berbentuk gancaran/prosa (Nukanaya dkk, 2005:7).
Kesusastraan Bali yang berbentuk puisi merupakan sekumpulan karya-karya sastra Bali yang ditulis dalam bentuk karangan dengan pola terikat. Pola tersebut lahir dari suatu aturan persajakan yang diistilahkan dengan prosodi. Aturan-aturan tersebut yang kemudian melahirkan pola-pola persajakan yang disebut dengan metrum. Salah satu contoh jenis karya sastra ini adalah geguritan, wewangsalan, kakawin, pupuh, dan puisi-puisi Bali Modern/Anyar (Wisnu, 2005:9).
Kesusastraan Bali yang berbentuk prosa merupakan sekumpulan karya-karya sastra Bali yang ditulis dalam bentuk karangan yang ‘bebas’. Istilah ‘bebas’ menekankan pada pola penyajian, sedangkan stuktur karya sastra prosa tersebut diikat oleh suatu stuktur cerita (cerita fiksi), seperti tema, alur, penokohan, latar, dan gaya bahasa. Salah satu contoh jenis karya sastra ini adalah babad, satua, cerpen, dan novel Bali (Wisnu, 2005:9).
3.        Berdasarkan cara penyampaian, kesusatraan Bali dibagi menjadi 2, yaitu:
a.    kesusastraan Bali Tutur/Lisan;
b.    kesusastraan Bali  Sasuratan/Tulisan (Nukanaya dkk, 2005:7).
Kesusastraan Bali lisan merupakan jenis-jenis kesusastraan Bali yang disajikan dari mulut ke mulut (oralty) sejak berlangsungnya tradisi lisan di Bali. Karya sastra ini tergolong karya sastra yang tua dan diperkirakan telah ada sejak zaman prasejarah. Salah satu contoh jenis karya sastra ini adalah satua-satua Bali. Kesusastraan Bali yang berbentuk tulisan merupakan jenis-jenis kesusastraan Bali yang disajikan dalam naskah-naskah, baik berupa tulisan tangan (manuskrip), seperti lontar, maupun hasil cetakan, seperti naskah-naskah kertas hasil cetakan. Karya sastra jenis ini lahir ketika berlangsungnya tradisi tulis di Bali. Salah satu contoh jenis karya sastra ini adalah babad (Wisnu, 2005:9).
4.        Berdasarkan pada masa keberadaannya kesusastraan Bali terbagi menjadi 2, yaitu:
a.    kesusatraan Bali Tradisional/Purwa;
b.    kesusastraan Bali Modern/Anyar (Nukanaya dkk, 2005:7).
Kesusastraan Bali Purwa merupakan formulasi dari kesusastraan Bali sebagai suatu kesusastraan yang bercorak dan bersifat tradisi atau warisan dari masa lampau. Kesusastraan Bali dalam hal ini juga disebut sebagai kesusastraan Bali Tradisional sebagai himpunan karya-karya sastra yang dibangun atas struktur tradisional, baik dalam hal konvensi, tema, tokoh, maupun motif cerita yang ditampilkan. Pada karya-karya sastra tersebut dapat dijumpai adanya nilai-nilai luhur yang telah hidup dan dianut oleh masyarakat Bali sejak masa lampau sebagai nilai-nilai yang adiluhung. Contoh dari kesusastraan Bali Purwa ini, di antaranya ada yang berbentuk tembang, prosa dan lain sebagainya. Kesusastraan Bali Anyar merupakan kesusastraan Bali yang diciptakan pada masa Bali baru dengan menginternalisasi pola-pola kesusastraan Barat ataupun sastra Indonesia baru. Salah satu contoh karya sastra jenis ini adalah cerpen, novel, dan puisi-puisi Bali Modern (Wisnu, 2005:17-18).

2.2.1.3 Fungsi Kesusastraan Bali
Fungsi kesusastraan Bali merupakan penggunaaan kesusastraan Bali dalam kehidupan masyarakat Bali sebagai pendukung kesusastraan dan kebudayaan. Secara umum, fungsi kesusastraan Bali dapat dikategorikan sebagai fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes merupakan fungsi yang tampak dan disadari oleh masyarakat, sedangkan fungsi laten merupakan fungsi yang tersirat dan tidak disadari oleh masyarakat pendukungnya. Fungsi manifes meliputi (a) fungsi estetis, yaitu sebagai sarana dalam mengungkapkan keindahan; (b) fungsi hiburan, yaitu sebagai sarana untuk menghibur; (c) fungsi edukatif, yaitu sebagai sarana pendidikan. Fungsi laten, meliputi: (a) fungsi informatif, yaitu sebagai sarana dalam menyelipkan wacana-wacana kehidupan pada masyarakat Bali; (b) fungsi legimitasi, yaitu sebagai sarana dalam mengukuhkan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan masyarakat Bali; (c) fungsi pengendalian sosial, yaitu sebagai sarana dalam menata atau mengendalikan pola pikir dan prilaku masyarakat Bali (Wisnu, 2005:13).

2.2.1.4 Makna Kesusastraan Bali
            Makna kesusastraan Bali dimaksudkan sebagai muatan, kandungan, atau dalam ilmu sastra disebut dengan ‘nilai’ dalam kesusastraan Bali. Terkait dengan hal itu, maka nilai-nilai pada kesusastraan Bali merupakan pandangan-pandangan masyarakat Bali yang tercermin dalam karya-karya sastra Bali. Pandangan tersebut berkenaan dengan hal-hal yang dianggap baik, pantas dan sesuai bagi ukuran normatif masyarakat Bali. Pandangan-pandangan tersebut ditata sedemikian rupa oleh pengarang dengan kepiawaian yang dimiliki. Hal itulah yang selanjutnya ditangkap oleh pembaca sebagai suatu nilai. Dengan demikian, maka nilai-nilai pada kesusastraan Bali pada dasarnya mencakup seluruh aspek kehidupan. Sehubungan dengan hal itu, adapun nilai-nilai pada karya-karya sastra Bali, meliputi nilai filosofis, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai kepahlawanan, nilai religius, nilai magis, nilai peruwatan, nilai keseimbangan, nilai estetika, dan nilai ekspresivitas.
Nilai filosofis merupakan nilai-nilai yang berkenaan dengan masalah filsafat atau hakikat kehidupan. Nilai pendidikan merupakan nilai yang berkenaan dengan segala masalah kependidikan. Nilai sosial merupakan nilai yang berkenaan dengan realitas maupun permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Nilai kepahlawanan merupakan nilai yang berkenaan dengan masalah kepahlawanan. Nilai religius merupakan nilai yang berhubungan dengan kepercayaan maupun keyakinan masyarakat. Nilai magis merupakan nilai yang berhubungan dengan dunia supranatural. Nilai peruwatan merupakan nilai yang berhubungan dengan ritus peralihan dalam dunia supranatural. Nilai  keseimbangan merupakan nilai yang berhubungan dengan keharmonisan hidup masyarakat. Nilai estetika adalah nilai yang berhubungan dengan masalah keindahan. Nilai ekspresivitas merupakan  nilai yang berhubungan dengan masalah penjiwaan atau pencurahan perasaan (Wisnu, 2005:13-14).
2.2.2 Tembang
2.2.2.1 Pengertian Tembang  
            Budiyasa (1998:3) menyatakan bahwa tembang merupakan bagian seni yang dituangkan dalam suara, irama, dan ritme dengan menggunakan laras pelog ataupun slendro. Dalam buku Penuntun Belajar Muatan Lokal Tembang dinyatakan bahwa tembang adalah salah satu cabang kesenian daerah Bali yang merupakan seni vokal tradisional sebagai pencetusan rasa estetika melalui rangkaian nada yang berlaras  pelog dan slendro baik dibawakan oleh suara vokal maupun instrumentalia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tembang adalah salah satu cabang kesenian daerah Bali yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Bali, yang merupakan  ungkapan rasa seni melalui rangkaian nada, ritme, maupun irama yang berlaras  pelog ataupun slendro.
Dalam perkembangannya, sastra tembang disebut dengan dharmagita. Menurut Suarka (2009:1), dharmagita adalah suatu nyanyian kebenaran, nyanyian keadilan yang dinyanyikan dalam pelaksanaan upacara agama Hindu. Dharmagita sangat berperan dalam kegiatan upacara agama sebagai pencurahan rasa bhakti dan pembimbing konsentrasi pikiran menuju suatu kebenaran. Hal ini disebabkan karena dharmagita mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, serta pelukisan kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya. Sejalan dengan itu, dharmagita sebagai salah satu budaya Hindu sangat berperan penting dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan beragama di kalangan generasi muda Hindu, sehingga perlu ditanamkan sejak dini.
2.2.2.2 Jenis-Jenis Tembang
            Dalam buku Kesusastraan  Bali (2005:7) disebutkan bahwa bentuk-bentuk kesusastraan tembang di Bali disebut dengan ‘sekar’. Sekar ini dibagi lagi menjadi 4 bentuk, yaitu Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madya, dan Sekar Agung. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari I Ketut Sukrata  yang membagi tembang menjadi 4 jenis, yaitu Sekar Rare, Sekar Alit (macapat), Sekar Madya (kidung) dan Sekar Agung (kakawin) (Tinggen, 1982:23).
1.        Sekar Rare
Sekar Rare atau juga disebut dengan gegendingan, merupakan bentuk tembang yang tidak diikat oleh suatu aturan seperti bentuk-bentuk tembang yang lainnya. Sekar Rare ini pada umumnya menggunakan bahasa Bali lumrah (bahasa sehari-hari). Seperti namanya Sekar Rare, dimana ‘rare’ berarti anak-anak, bentuk tembang ini biasanya dinyanyikan oleh anak-anak tatkala bulan purnama. Oleh sebab itu, Sekar Rare ini mencerminkan rasa senang dan gembira pada anak-anak saat mereka bermain-main. Sekar Rare dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) Gending Rare (dolanan), seperti: Guak Maling Taluh, Meong-meong, Juru Pencar, dan lain-lain; (2) Gending Janger, biasanya dinyanyikan oleh penari janger dan kecak secara bersahut-sahutan, seperti: Embok Nyoman, Don Dapdap, dan lain sebagainya; (3) Gending Sanghyang, biasanya dinyanyikan oleh penari sanghyang, seperti: Sanghyang Dadari, Sanghyang Panyalin, dan lain-lain. Berdasarkan keberadaan Sekar Rare tersebut, maka dapat dikatakan bahwa gegendingan tidak hanya dinyanyikan oleh anak-anak, tetapi juga bisa dinyanyikan oleh para pemuda-pemudi (Nukanaya dkk, 2005: 8-10).
2.        Sekar Alit
Sekar Alit atau yang biasa disebut dengan macapat adalah bentuk tembang yang diikat oleh aturan padalingsa. Hukum padalingsa adalah banyaknya baris dalam satu bait tembang (guru gatra), banyaknya suku kata pada tiap-tiap baris (guru wilang), dan huruf vokal atau huruf hidup yang ada pada suku kata akhir tiap-tiap baris dalam satu bait tembang (guru ding-dong).
Jenis-jenis tembang macapat di Bali dibagi menjadi sepuluh jenis, yaitu: (1) Pupuh Maskumambang; (2) Pupuh Pucung; (3) Pupuh Mijil; (4) Pupuh Ginanti; (5) Pupuh Ginada; (6) Pupuh Pangkur; (7) Pupuh Sinom; (8) Pupuh Semarandana; (9) Pupuh Durma; (10) Pupuh Dandang (Nukanaya dkk, 2005:10-11).
3.        Sekar Madya
Sekar Madya atau yang sering disebut dengan kidung, pada prinsipnya juga diikat oleh suku kata dan bunyi akhir (rima). Sekar Madya pada umumnya menggunakan bahasa Bali Tengahan (Suarka, 2009:3). Di Bali Sekar Madya atau kidung digunakan sebagai pengiring ritual upacara agama Hindu. Ada beberapa jenis-jenis  kidung yang terdapat di Bali, di antaranya: Kidung Wargasari, Kidung Tantri, Kidung Putrusaji, dan lain sebagainya (Nukanaya dkk, 2005:11-12).
4.        Sekar Agung
Sekar Agung atau kakawin adalah syair Jawa Kuna yang digubah berdasarkan
aturan metrum India. Kakawin diikat oleh aturan guru-laghu (matra), jumlah baris dan suku kata (wretta) dalam satu bait (pada). Guru adalah suku kata panjang (dilagukan panjang/berat). Laghu adalah suku kata pendek (dilagukan pendek/ringan) (Suarka, 2009:3). Ada beberapa jenis Sekar Agung yang ada di Bali, di antaranya: Wirama Sronca, Wirama Rajani, Wirama Girisa, Wirama Totaka, dan lain sebagainya (Nukanaya dkk, 2005:24-25).

2.2.3 Pupuh
2.2.3.1 Pengertian Pupuh dan Jenis-jenisnya
Kata pupuh dalam bahasa Bali berarti bentuk lagu yang terikat oleh padalingsa, sedangkan kata mupuh berarti sesuai dengan syarat-syarat irama lagu, (Dinas Pendas Prov. Dati I Bali, 1978:460). Dalam kamus Bahasa Bali Indonesia disebutkan, bahwa pupuh bentuk lagu yang diikat oleh padalingsa. Jadi, dapat disimpulkan pupuh adalah suatu bentuk puisi yang dilagukan atau dinyanyikan yang diikat oleh kaidah-kaidah yang teratur (padalingsa). Hukum padalingsa dalam pupuh mencakup tiga hal, yaitu (1) banyaknya baris dalam satu bait pupuh (guru gatra); (2) banyaknya suku kata pada tiap-tiap baris pupuh dalam satu bait pupuh (guru wilang); (3) huruf vokal atau huruf hidup yang ada pada suku kata akhir tiap-tiap pupuh dalam satu bait pupuh (guru ding-dong).
Jenis-jenis pupuh yang ada  di Bali dibagi menjadi sepuluh jenis, yaitu: (1) Pupuh Maskumambang; (2) Pupuh Mijil; (3) Pupuh Pucung; (4) Pupuh Ginanti; (5) Pupuh Ginada; (6) Pupuh Sinom; (7) Pupuh Semarandana; (8) Pupuh Durma; (9) Pupuh Pangkur; (10) Pupuh Dandang Gula (Nukanaya dkk, 2005:10-11).  Berbeda jenis pupuhnya, maka berbeda pula padalingsanya. Berikut ini disajikan aturan padalingsa yang mengikat masing-masing pupuh tersebut diatas, seperti tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Aturan/Padalingsa pada Tiap-tiap Pupuh

No.
Nama
Tembang/Pupuh
Padalingsa (Guru Gatra, Guru Wilang, Guru Ding-dong)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1.
Maskumambang
4a
8i
6a
8i
8i





2.
Mijil
10i
6o
10e
10i
6i
8u




3.
Pucung
4u
8u
6a
8i
4u
8a




4.
Ginanti
8u
8i
8a
8i
8a
8i




5.
Ginada
8a
8i
8a
8u
8a
4i
8a



6.
Sinom
8a
8i
8a
8i
8i
8u
8a
8i
4u
8a
7.
Semarandana
8i
8a
8o
8a
8a
8u
8a



8.
Durma
12a
8i
6a
8a
8i
5a
7i



9.
Pangkur
8a
11i
8u
7a
12u
8a
8i



10.
Dandang Gula
10i
10a
8e
7u
9i
7a
6u
8a
12i
7a
(Nukanaya dkk, 2005:11-12) 
Tata cara menembangkan pupuh dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu (1) paca pariring, menembangkan pupuh sesuai dengan nada pokoknya yang polos tanpa diberikan variasi, dan (2) nyengkok wilet, menembangkan pupuh yang sudah menggunakan variasi (cengkok, wilet dan gregel) (Nukanaya dkk, 2005:13).    

2.2.3.2 Karakteristik Pupuh
Setiap pupuh memiliki karakter atau wataknya tersendiri untuk mengekspresikan berbagai perasaan yang sekaligus menjadi pembeda antara pupuh yang satu dengan yang lainnya. Adapun fungsi atau karakter dari masing-masing pupuh adalah sebagai berikut.
1.        Pupuh Maskumambang, wataknya menggambarkan perasaan yang sedih, merana, terkadang romantis. Baiknya untuk mengetuk perasaan.
2.        Pupuh Mijil, wataknya menggambarkan perasaan yang was-was. Baiknya untuk menguraikan nasehat.
3.        Pupuh Pucung, wataknya kendor, tanpa disertai perasaan memuncak. Baiknya untuk menguraikan ajaran.
4.        Pupuh Ginanti, wataknya senang ajaran, filsafat. Baiknya untuk menguraikan ajaran dan filsafat.
5.        Pupuh Ginada, wataknya menggambarkan kesedihan, merana, dan kekecewaan, tetapi terdapat juga Pupuh Ginada yang melukiskan kegembiraan dan  perdamaian.
6.        Pupuh Sinom, wataknya romantis, ramahtamah. Baiknya untuk mengungkapkan nasihat dan amanat.
7.        Pupuh Semarandana, wataknya agak sedih, terkadang romantis. Baiknya untuk mengungkapkan cerita yang bernuansa asmara atau romantis.
8.        Pupuh Durma, watakya agak keras, terkadang bengis. Baiknya untuk mengungkapkan cerita kepahlawanan.
9.        Pupuh Pangkur, wataknya perasaan hati yang memuncak. Baiknya untuk menyampaikan masalah yang serius atau mantap.
10.    Pupuh Dandang Gula, wataknya halus, lemah gemulai. Baiknya untuk menguraikan nasehat.
(Budiyasa dan Purnawan, 1997:1)

2.2.4 Pupuh Ginada
            Pupuh Ginada berasal dari lingga basagada’ mendapat sisipan -in- menjadi ginada yang berarti terpukul dan akhirnya tertimpa oleh kekecewaan yang dalam (Gautama, 2004:34). Pupuh Ginada merupakan  salah satu jenis pupuh yang biasa digunakan dalam membuat geguritan. Pupuh Ginada banyak digunakan oleh pengarang untuk menciptakan geguritan mono-metris (geguritan yang dibangun dengan menggunakan satu jenis pupuh), seperti Geguritan Jayaprana, menggunakan Pupuh Ginada Jayaprana, Geguritan Bungkling menggunakan Pupuh Ginada Bungkling, Geguritan Basur menggunakan Pupuh Ginada Basur, dan lain-lain.
            Pada umumnya masing-masing pupuh mempunyai karakter sendiri, demikian juga Pupuh Ginada mempunyai karakter sedih, sehingga baik untuk melukiskan kesedihan, merana, dan perasaan hati yang kecewa. Dalam perkembangannya, masyarakat Bali banyak sekali menemukan jenis-jenis Pupuh Ginada yang memiliki titi laras yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya , yaitu sebagai berikut.
1.        Pupuh Ginada Lumrah/Dasar.
2.        Pupuh Ginada Jayaprana.
3.        Pupuh Ginada Bungkling (Eman-eman).
4.        Pupuh Ginada Candrawati.
5.        Pupuh Ginada Basur.
6.        Pupuh Ginada Pakang Raras.
7.        Pupuh Ginada Bagus Umbara.
8.        Pupuh Ginada Linggar Petak.            (Nukanaya dkk, 2005:12)

2.2.5 Pupuh Ginada Pakang Raras
            Pupuh Ginada Pakang Raras merupakan salah satu jenis Pupuh Ginada yang memiliki karakteristik sedih, sehingga baik untuk melukiskan kesedihan, merana, dan perasaan hati yang kecewa. Jenis-jenis Pupuh Ginada antara yang satu dengan yang lainnya memiliki titi laras yang berbeda-beda. Adapun titi laras atau notasi dari Pupuh Ginada Pakang Raras sebagai berikut.

Pupuh Ginada Pakang Raras
e
e
e
,
u
e
u
,
Se
sa
nan
sang

mra
ga
sis
ya
,
i
u
u
e
,
u
e
ngu
lik
sas
tra

le
mah
we
ngi
e
u
u
i
,
e
,
u
ang
gen
be
kel

ka
we
ka
san
u
i
,
e
o
e
u
e
a
ne
nyan
dang

tu
lad
ti
ru
i
o
e
u
,
e
,
u
i
nger
i
nger

ang
di
ma
nah
o
e
u
e





ling
ing
ja
ti





u
,
e
u
o
e
u
e
sa
ha
na
ning

da
ging
sas
tra

2.2.6 Aspek Penilaian dalam Pupuh
            Dalam materi Utsawa Dharma Gita tingkat SD, SMP, SMA atau SMK Kota Denpasar tahun 2006, kriteria penilaian untuk pupuh terdiri dari: (1) onek-onekan; (2) reng dan suara; (3) padalingsa; (4) raras; (5) tikas. Di bawah ini diuraikan secara lebih rinci kriteria penilaian pupuh diatas sebagai berikut.
1.        Onek-onekan
Onek-onekan adalah ketepatan dan kebenaran dalam membaca, mengucapkan serta memenggal kata-kata pada saat pembacaan. Ketepatan dan kebenaran dalam membaca serta  memenggal kata-kata sangat penting karena jika terjadi kesalahan  membaca atau ngonek akan membawa konsekuensi kesalahan dalam penerjemahan dan tembang itu sendiri akan menjadi ngelung.
2.        Reng dan Suara
Reng adalah tinggi rendahnya suara sesuai dengan laras tembang. Suara yang dimaksud disini adalah suara untuk pupuh atau tembang adalah suara yang berada pada ujung lidah pada saat penembangan. Jenis suara pupuh disebut suara nantia. Suara yang dikategorikan becik, yaitu suara yang memiliki getaran, suara teratur dalam hal keras lembut ataupun tinggi rendah (gregel). Jika suara dalam menembangkan pupuh sudah memiliki gema, getaran, dan kelenturan, maka akan dapat menghasillkan alunan tembang yang indah dan sempurna.
3.        Padalingsa
Padalingsa pada pupuh lebih menekankan pada guru ding-dong, yakni ketepatan nada akhir pada tiap baris. Apabila terjadi kesalahan dalam mengambil nada akhir (guru ding-dong) pupuh, maka pupuh itu akan menjadi ngandang. Misalnya, nada akhir (guru ding-dong) dalam satu baris Pupuh Ginada bersuara ndeng, tetapi pada saat menembangkan nada akhir (guru ding-dong) satu baris Pupuh Ginada tersebut bersuara nding, maka tembang pupuh tersebut menjadi ngandang. Ngandang yang dimaksud adalah tidak adanya keselarasan antara nada akhir (guru ding-dong) dalam satu baris pupuh dengan pengambilan nada awal pada baris berikutnya.


4.        Raras
Raras adalah ekspresi atau penjiwaan seorang peserta dalam menyajikan teks yang dibaca. Raras ini berkaitan dengan mimik, raut wajah, dan tatap mata yang sesuai dengan teks pupuh yang ditembangkan. Misalnya, dalam menembangkan Pupuh Ginada yang menggambarkan kesedihan, merana, dan kekecewaan, maka raras yang harus ditampilkan adalah  mimik, raut wajah, dan tatap mata yang menunjukan kesedihan, merana, dan kekecewaan. Artinya, raras yang baik adalah raras yang sesuai dengan karakter pupuh.
5.        Tikas
Tikas adalah sikap penampilan pada saat menembangkan pupuh dari awal sampai berakhir. Tikas atau penampilan yang baik pada saat menembangkan pupuh adalah penampilan yang tenang, lancar, dan tidak gugup dari awal menembangkan pupuh sampai berakhir. Dalam menembangkan pupuh sangat tidak diharapkan penampilan yang tergesa-gesa, tegang, takut, dan terkesan ingin cepat-cepat selesai menembangkan pupuh.

2.2.7 Apresiasi Sastra
            Menurut Suroto (1989:157-158), apresiasi terhadap karya sastra adalah upaya atau proses menikmati, memahami, dan menghargai suatu karya sastra secara kritis, sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, dan kepekaan pikiran kritis serta kepekaan pikiran yang baik terhadap sastra. Pendapat lain mengatakan bahwa apresiasi mengandung arti sensitif terhadap sesuatu ataupun pemahaman sensitif terhadap sesuatu (Oemarjati dalam Antilan Purba, 2008:29).
Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan untuk memahami, menikmati, menghargai, dan menilai sebuah cipta sastra. Tujuan untuk mengapresiasi sastra adalah untuk memupuk minat dan ketertarikan anak didik kepada kesusastraan agar mempunyai rasa cinta terhadap sastra. Suroto (1989:157-158), menyebutkan ada lima tahap proses pembentukan apresiasi sastra, yaitu sebagai berikut.
1.        Tahap penikmatan, pada tahap ini penikmat melakukan tindakan membaca, melihat, menonton atau mendengarkan suatu karya sastra. Misalnya membaca novel, roman atau puisi, dan menonton pertunjukan drama.
2.        Tahap penghargaan, penikmat melakukan tindakan melihat kebaikan , manfaat karya sastra. Setelah mendengar atau membaca karya sastra lalu penikmat merasakan adanya manfaat menyenangkan dan kepuasan.
3.        Tahap pemahaman, penikmat melakukan tindakan meneliti, menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsiknya serta berusaha menyimpulkannya.
4.        Tahap penghayatan, penikmat akan menganalisis lebih lanjut karya sastra tersebut, mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinya, membuat penafsiran dan menyusun argument berdasarkan analisis yang telah dibuatnya.
5.        Tahap implikasi atau penerapan, setelah menikmati suatu karya sastra sangat mungkin timbul ide baru pada penikmat, kemudian melaksanakan ide tersebut demi kepentingan sosial, politik, dan budaya.

2.2.8 Apresiasi Pupuh Ginada Pakang Raras
            Berdasarkan pengertian, tujuan, tahapan-tahapan apresiasi sastra dan berdasarkan fungsi dari Pupuh Ginada Pakang Raras, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan mengapresiasi Pupuh Ginada Pakang Raras adalah kegiatan memahami menikmati, menghargai, dan menilai Pupuh Ginada Pakang Raras yang wataknya melukiskan kesedihan, merana, dan kekecewaan. Melalui tahapan menikmati, menghargai, memahami, menghayati, dan menerapkan Pupuh Ginada Pakang Raras, maka siswa akan dapat merasakan nilai yang terkandung dalam pengapresiasian Pupuh Ginada Pakang Raras tersebut.









BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang sudah tentu menggunakan metode. Penggunaan suatu metode dalam penelitian  sangatlah penting  karena suatu penelitian akan berhasil dilakukan dan akan mencapai hasil yang baik apabila metode yang digunakan dalam penelitian tersebut tepat.
            Secara umum metode adalah suatu cara yang digunakan dalam suatu aktivitas dalam rangka untuk mencapai tujuan dengan menggunakan rencana sistematis. Lebih lanjut Surachmad (1980:86), menyatakan metode adalah cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Pendapat lain mengatakan bahwa metode adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji suatu kebenaran ilmu pengetahuan, usaha yang dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah (Hadi, 1981:4). Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan dalam suatu penelitian dengan menggunakan rencana sistematis untuk memperoleh kebenaran-kebenaran ilmiah melalui metode-metode ilmiah.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) metode penentuan subjek penelitian; (2) metode pendekatan subjek penelitian; (3) metode pengumpulan data; (4) metode pengolahan data.

3.1 Metode Penentuan Subjek Penelitian
            Metode penentuan subjek penelitian adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan subjek penelitian. Subjek penelitian merupakan setiap individu yang akan diteliti. Individu disini dapat berwujud manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan ataupun benda-benda (Netra, 1974:22). Di dalam melakukan suatu penelitian harus ada subjek penelitian, karena subjek penelitian inilah yang nantinya merupakan sumber data untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Dalam penelitian ini, yang dijadikan subjek penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012. Penentuan subjek penelitian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu meneliti semua subjek penelitian atau yang disebut dengan penelitian populasi dan meneliti sebagian subjek penelitian atau yang dikenal dengan penelitian sampel. Sehubungan dengan hal tersebut dan sebelum subjek penelitian ditentukan  berikut  akan dibicarakan terlebih dahulu mengenai populasi dan sampel penelitian.

3.1.1 Penelitian Populasi
            Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 1993:108). Netra  (1974:23) mengatakan bahwa populasi adalah keseluruhan individu atau jumlah yang lebih besar dan lebih luas. Berdasarkan pendapat di atas, yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012.

Tabel 3.1 Populasi Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012

No.
Kelas
Laki-laki
Perempuan
Jumlah siswa
1.
XI IPA 1
21
27
48
2.
XI IPA 2
15
35
50
3.
XI IPA 3
17
31
48
4.
XI IPA 4
19
30
49
5
XI IPA 5
9
39
48
6.
XI IPA 6
20
30
50
7.
XI IPA 7
25
22
47
8.
XI IPA 8
24
25
49
9.
XI IPA 9
26
22
48
10.
XI IPS 1
19
13
32
11.
XI IPS 2
27
10
37
12.
XI IPS 3
20
16
36
13.
XI IPS 4
23
12
35
14.
XI IPS 5
28
8
36
Jumlah
14 kelas
293 orang
320 orang
613 orang

            Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat populasi siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 berjumlah 613 orang, yang terdiri dari 293 orang laki-laki dan 320 orang perempuan. Berdasarkan pendapat Arikunto (1993:107) yang menyatakan bahwa apabila subjek penelitian kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sedangkan apabila lebih dari 100 bisa diambil sampel dengan cara mengambil 10-15% atau 20-25% ataupun lebih dari jumlah populasi. Didasarkan atas pendapat di atas, dalam penelitian ini akan menggunakan metode penelitian sampel mengingat banyaknya jumlah subjek yang diteliti lebih dari 100 orang siswa.



3.1.2 Penelitian Sampel
            Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang langsung diteliti. Dalam menentukan sampel penelitian digunakan metode sampling. Menurut Netra (1974:25), metode sampling adalah suatu cara pengambilan subjek penyelidikan, dimana subjek yang akan diselidiki terdiri dari sejumlah individu yang mewakili jumlah yang lebih besar. Untuk mendapatkan sampel yang dapat mewakili populasi (representatif), maka pengambilan sampel dari tiap-tiap sub populasi didasarkan atas besar kecilnya jumlah siswa pada tiap sub populasi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Arikunto (1993:107) yang mengemukakan bahwa untuk sekedar sebagai pegangan maka apabila subjek penelitian kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sedangkan apabila lebih dari 100 bisa diambil sampel dengan cara mengambil 10-15% atau 20-25% ataupun lebih dari jumlah populasi.
            Berdasarkan pendapat tersebut dan mengingat besarnya jumlah subjek yang diteliti yaitu lebih dari 100 orang, maka ditentukan besarnya jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah mengambil 60% dari jumlah populasi yang ada, yaitu 60% x 613 = 367,8 orang, yang dibulatkan keatas menjadi 368 orang. Untuk mendapatkan sampel yang dapat mewakili populasi (representatif), maka pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan dua teknik sampling, yaitu (1) proporsional sampling dan (2) random sampling.
1.        Proporsional Sampling
Proporsional sampling adalah suatu cara penentuan sampel dari suatu populasi dengan mempertimbangkan adanya bagian-bagian atau sub-sub dari populasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi (1989:74) yang mengemukakan bahwa proporsional sampling adalah suatu cara atau teknik pengambilan sampel yang didasarkan atas besar kecilnya sub populasi. Sub-sub populasi dalam penelitian ini adalah kelas yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, pengambilan sampel dari tiap-tiap sub populasi dapat tentukan jumlahnya dengan perhitungan rumus sebagai berikut.

(Netra, 1974: 28)
            Dengan menggunakan perhitungan di atas, ada kemungkinan hasil yang didapat berupa bilangan pecahan. Oleh karena itu, akan dilakukan pembulatan-pembulatan atas hasil yang didapat. Untuk pecahan 0,5 ke atas akan dibulatkan ke atas dan pecahan 0,5 ke bawah dibulatkan ke bawah. Berdasarkan perhitungan di atas, maka jumlah siswa yang diambil dari tiap sub populasi yang digunakan sebagai sampel adalah sebagai berikut.
a.    Kelas XI IPA 1 dengan jumlah sub populasi 48 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
48
          x 368 = 28,8 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613

b.    Kelas IPA 2 dengan jumlah sub populasi 50 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
50
          x 368 = 30,3 orang siswa, dibulatkan menjadi 30 orang.
613
c.    Kelas XI IPA 3 dengan jumlah sub populasi 48 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
48
          x 368 = 28,8 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
d.   Kelas XI IPA 4 dengan jumlah sub populasi 49 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
49
          x 368 = 29,4 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
e.    Kelas XI IPA 5 dengan jumlah sub populasi 48 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
48
          x 368 = 28,8 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
f.     Kelas XI IPA 6 dengan jumlah sub populasi 50 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
50
          x 368 = 30,3 orang, dibulatkan menjadi 30 orang.
613

g.    Kelas XI IPA 7 dengan jumlah sub populasi 47 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
47
          x  368 = 28,2 orang, dibulatkan menjadi 28 orang.
613
h.    Kelas XI IPA 8 dengan jumlah sub populasi 49 Orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
49
          x 368 = 29,4 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
i.      Kelas XI IPA 9 dengan jumlah sub populasi 48 Orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
48
          x 368= 28,8 orang, dibulatkan menjadi 29 orang.
613
j.      Kelas XI IPS 1 dengan jumlah sub populasi 32 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
32
          x 368 = 19,2 orang, dibulatkan menjadi 19 orang.
613
k.    Kelas XI IPS 2 dengan jumlah sub populasi 32 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
37
          x 368 = 22,2 orang, dibulatkan menjadi 22 orang.
613

l.      Kelas XI IPS 3 dengan jumlah sub populasi 36 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
 36
          x 368 = 21,6 orang, dibulatkan menjadi 22 orang.
613
m.  Kelas XI IPS 4 dengan jumlah sub populasi 35 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
35
          x 368 = 21,0 orang, dibulatkan menjadi 21 orang.
              613
n.    Kelas XI IPS 5 dengan jumlah sub populasi 36 orang, maka jumlah sampel yang diambil sebanyak:
36
          x 368 = 21,6 orang, dibulatkan menjadi 22 orang.
613
            Dengan perhitungan di atas, maka dapat dirinci jumlah sampel yang diambil dari tiap sub populasi seperti dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.2 Sampel Populasi Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran
                 2011/2012

No.
Kelas
Jumlah Siswa
Jumlah Sampel
1.
XI IPA 1
48
29
2.
XI IPA 2
50
30
3.
XI IPA 3
48
29
4.
XI IPA 4
49
29
5.
XI IPA 5
48
29
6.
XI IPA 6
50
30
7.
XI IPA 7
47
28
8.
XI IPA 8
49
29
9.
XI IPA 9
48
29
No.
Kelas
Jumlah Siswa
Jumlah Sampel
10.
XI IPS 1
32
19
11.
XI IPS 2
37
22
12.
XI IPS 3
36
22
13.
XI IPS 4
35
21
14.
XI IPS 5
36
22
Jumlah
14 kelas
613 orang
368 orang

2.        Random Sampling
Random sampling adalah sampling yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk menjadi anggota sampel (Sugiyono, 1999:56). Berdasarkan pendapat di atas, untuk memberikan peluang yang sama kepada subjek penelitian dalam penelitian ini, maka pengambilan anggota sampel dalam penelitian ini digunakan teknik random sampling dengan teknik undian untuk menghindari subjektivitas dalam memilih anggota sampel. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menggunakan teknik undian adalah sebagai berikut.
a.         Disiapkan satu buah kaleng.
b.        Dibuatkan potongan kertas-kertas kecil sesuai dengan jumlah subjek penelitian pada tiap sub populasi.
c.         Kertas-kertas kecil tersebut diisi kode “maju” sesuai dengan jumlah sampel yang ditetapkan pada tiap sub populasi, sedangkan sisanya diberikan kode “tidak maju”.
d.        Lembaran kertas-kertas kecil tersebut digulung dan dimasukan ke dalam kaleng kemudian kaleng dikocok dengan rata.
e.         Siswa maju satu persatu ke depan kelas untuk mengambil satu buah gulungan kertas.
f.         Siswa yang mengambil kertas yang berisi kode “maju” dijadikan sebagai anggota sampel.

3.2 Metode Pendekatan Subjek Penelitian
Sesuai dengan langkah-langkah penelitian, setelah subjek penelitian ditentukan, maka selanjutnya dilakukan upaya untuk melakukan pendekatan pada subjek penelitian. Menurut Netra (1974:36), metode pendekatan subjek penelitian adalah golongan metode yang khusus yang dipergunakan untuk mengadakan pendekatan pada subjek penelitian. Metode pendekatan subjek penelitian ada dua, yaitu metode empiris dan metode eksperimen.
Dari kedua metode tersebut, metode yang digunakan untuk mengadakan pendekatan pada subjek penelitian dalam penelitian ini adalah metode empiris. Metode empiris adalah suatu cara pendekatan dimana gejala yang akan diselidiki telah ada secara wajar (Netra, 1974:35). Dalam penelitian ini gejala yang akan diselidiki sudah ada secara wajar. Gejala yang dimaksud adalah kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar sudah diajarkan dalam proses pembelajaran mata pelajaran muatan lokal bahasa daerah Bali yang sudah sesuai dengan kurikulum yang berlaku (KTSP).


3.3 Metode Pengumpulan Data
            Dalam melakukan penelitian, pengumpulan data merupakan proses yang sangat penting karena jika tidak ada data yang terkumpul maka hasil suatu penelitian tidak dapat dibuat. Metode pangumpulan data adalah golongan metode yang khusus digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data (Netra, 1974:43). Data yang diharapkan dalam penelitian ini adalah data tentang kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 yang berupa data kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berupa angka atau menyatakan jumlah.
            Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data digunakan 4 metode, yaitu (1) metode tes; (2) metode observasi; (3) metode kuesioner; (4) metode wawancara. Metode tes dan metode observasi digunakan sebagai metode utama untuk memperoleh data tentang kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Metode kuesioner digunakan sebagai metode pelengkap untuk memperoleh data tentang kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras, sedangkan metode wawancara juga sebagai metode pelengkap untuk menguatkan metode kuesioner.



3.3.1 Metode Tes
            Metode tes adalah suatu alat yang digunakan untuk menilai kemampuan siswa yang mencakup pengetahuan dan ketrampilan sebagai hasil dari proses pembelajaran. Nurkancana dan Sunartana (1986:25), menyatakan pengertian tes adalah sebagai berikut.
            Tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak-anak atau sekelompok anak sehingga menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau prestasi tentang anak tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh anak-anak atau dengan nilai standar yang ditetapkan.

            Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam mengumpulkan data tentang kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012, yaitu (1) penyusunan instrument dan (2) pelaksanaan tes. Berikut akan diuraikan secara lebih rinci mengenai dua langkah tesebut adalah sebagai berikut.

3.3.1.1 Penyusunan Instrumen
Untuk mengumpulkan data tentang kemampuan menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012, maka diperlukan suatu proses penyusunan instrument. Penyusunan instrument yang dimaksud adalah penyajian tes yang digunakan sebagai instrument untuk mengumpulkan data.
Dalam penelitian ini penyajian tes dilakukan dalam bentuk tes tindakan. Tes tindakan adalah tes yang diberikan apabila jawaban atau respon yang diharapkan dari siswa berupa tingkah laku (Nurkancana, 1986:26). Tes tindakan tersebut dilakukan untuk mengetahui secara objektif kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012. Tes tindakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menyuruh siswa yang telah terpilih sebagai sampel maju satu persatu kedepan kelas untuk menunjukan kemampuannya menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras dan dinilai oleh peneliti sesuai dengan aspek penilaian menembangkan pupuh.

3.3.1.2 Pelaksanaan Tes
Pelaksanaan tes dilakukan di SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 pada siswa kelas XI. Pelaksanaan tes akan diawasi oleh peneliti yang juga dibantu oleh guru bahasa Bali di sekolah tersebut agar pelaksanaan tes dapat berlangsung secara wajar.

3.3.2 Metode Observasi
            Menurut Nurkancana (1990:50), observasi adalah suatu cara untuk mengadakan penelitian dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung dan sistematis. Data-data yang diperoleh dalam observasi itu dicatat dalam suatu catatan observasi. Obseravasi juga bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.
            Berdasarkan jenisnya, observasi dibagi menjadi 2, yaitu observasi langsung dan observasi tak langsung. Observasi langsung adalah yang dilakukan dimana peneliti berada bersama objek yang diteliti, sedangkan observasi tak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu peristiwa yang akan diteliti.
            Dalam pelaksanaannya, metode observasi dapat dibagi menjadi 4, yaitu (1) observasi partisipan; (2) observasi non partisipan; (3) observasi sistematis; (4) observasi non sistematis. Observasi partisipan adalah suatu proses pengamatan bagian dalam yang dilakukan oleh observer dengan ikut mengambil bagian dalam kehidupan orang-orang yang akan diobservasi. Observasi non partisipan adalah yang melakukan observasi tidak ikut dalam kehidupan orang yang diobservasi dan secara terpisah berkedudukan sebagai pengamat. Observasi sistematis adalah yang diselenggarakan dengan menentukan secara sistematis, faktor-faktor yang akan diobservasi lengkap dengan kategorinya. Dengan kata lain wilayah atau ruang lingkup observasi telah dibatasi secara tegas sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Observasi non sistematis adalah observasi yang dilakukan tanpa terlebih dahulu mempersiapkan dan membatasi karangka yang akan diamati.
            Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini digunakan jenis metode observasi lagsung secara sistematis karena dilaksanakan secara langsung dengan menentukan secara sistematis hal-hal yang akan diobservasi lengkap dengan kategorinya. Dengan kata lain wilayah atau ruang lingkup observasi telah dibatasi secara tegas sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Metode observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengamati dan mencatat secara langsung dan sistematis gejala-gejala yang diteliti, yaitu kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan suatu pedoman observasi yang berisikan batasan ruang lingkup dalam mengobservasi atau mengamati ketrampilan siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras, seperti tabel berikut ini.

Tabel 3.3  Pedoman Observasi Kemampuan Menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012

No.
Aspek Penilaian
Rentang Nilai
Kriteria
Skor
1.
Onek-onekan
1-4
Tidak ada kesalahan dalam membaca dan      pemenggalan kata
4
Ada salah satu (membaca atau pemenggalan kata) salah
3
Ada beberapa kesalahan dalam membaca dan kurang tepat dalam pemenggalan kata
2
Membaca dan pemenggalan kata keduanya salah
1
2.
Reng dan
suara
1-5
Pengambilan tinggi rendahnya suara sudah tepat dan sesuai dengan laras tembang serta memiliki kualitas suara yang bagus, yaitu suara memiliki getaran, lentur dan mampu menghasilkan alunan tembang yang indah/sempurna
5
Pengambilan tinggi rendahnya  suara sudah tepat dan sesuai dengan laras tembang serta memiliki kualitas suara yang bagus, tetapi suara kurang bergetar dan kurang lentur, sehingga alunan tembang kurang  indah/sempurna
4
Pengambilan tinggi rendahnya suara kurang sesuai dengan laras tembang dan memiliki kualitas suara yang bagus tetapi suara belum memiliki getaran dan kelenturan
3
Pengambilan tinggi rendahnya suara tidak sesuai dengan laras tembang dan memiliki kualitas suara yang cukup bagus tetapi suara belum memiliki getaran dan kelenturan
2
Pengambilan tinggi rendahnya suara tidak sesuai dengan laras tembang dan memiliki kualitas suara yang kurang bagus, suara tidak memiliki getaran dan kelenturan, sehingga suara yang keluar terdengar kaku
1
3.
Padalingsa
1-4
Ketepatan dalam menembangkan guru ding-dong (nada akhir) pada tiap baris pupuh sesuai dengan guru ding-dong Pupuh Ginada Pakang Raras
4
No.
Aspek Penilaian
Rentang Nilai
Kriteria
Skor
3.
Padalingsa
1-4
Dalam menembangkan pupuh, ada salah satu baris pupuh yang tidak sesuai dengan guru ding-dong (nada akhir)  Pupuh Ginada Pakang Raras
3
Dalam menembangkan pupuh, ada beberapa baris pupuh yang tidak sesuai dengan guru ding-dong (nada akhir) Pupuh Ginada Pakang Raras
2
Dalam menembangkan pupuh, ketepatan  guru ding-dong (nada akhir) pada tiap baris pupuh tidak sesuai dengan guru ding-dong (nada akhir) Pupuh Ginada Pakang Raras
1
4.
Raras
1-4
Dalam menembangkan pupuh, ekspresi dan penjiwaanya sudah sesuai dengan karakter pupuh
4
Dalam menembangkan pupuh, salah satu (ekspresi atau penjiwaan) kurang sesuai dengan karakter pupuh
3
Dalam menembangkan pupuh, ekspresi dan penjiwaanya kurang sesuai dengan karakter pupuh
2
Dalam menembangkan pupuh, ekspresi dan penjiwaanya tidak sesuai dengan karakter pupuh
1
5.
Tikas
1-4
Dalam menembangkan pupuh, penampilan bagus, tenang, lancar dan tidak gugup dari awal menembangkan pupuh sampai berakhir
4
Dalam menembangkan pupuh, penampilan baik, tenang tetapi masih terlihat gugup
3
Dalam menembangkan pupuh, penampilan cukup tetapi kurang tenang sehingga terkesan gugup
2
Dalam menembangkan pupuh, penampilan kurang, tidak tenang, tergesa-gesa, dan gugup
1


3.3.3 Metode Kuesioner
Metode kuesioner digunakan untuk megetahui kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Metode Kuesioner adalah suatu alat pengumpulan informasi dengan cara menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kuesioner langsung dimana daftar pertanyaannya langsung diberikan kepada siswa yang ingin dimintai pendapat. Jenis pertanyaan kuesioner ada 2 jenis, yaitu pertanyaan tertutup dan terbuka. Pertanyaan tertutup adalah jenis pertanyaan yang jawabannya sudah disediakan oleh peneliti, sedangkan pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang jawabannya tidak ditentukan  terkebih dahulu, tetapi responden bebas memberikan jawaban.
            Dalam penelitian ini, jenis pertanyaan kuesioner yang digunakan adalah jenis pertanyaan tertutup dimana jawaban dari pertanyaan tersebut sudah disediakan peneliti dan responden bebas memilih jawaban yang telah disediakan. Pertanyaan yang dijawab oleh responden adalah pertanyaan yang berkaitan dengan kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Dalam pelaksanaannya, masing-masing siswa kelas siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 diberikan lembar kertas yang berisi sejumlah pertanyaan dan pilihan jawaban yang harus dipilih oleh siswa secara jujur.

3.3.4 Metode Wawancara
Menurut Zuriah (2006:176), wawancara adalah alat pengumpulan informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara  lisan untuk dijawab secara lisan pula. Ciri utama wawancara adalah adanya kontak langsung dengan tatap muka antara pencari informasi dengan sumber informasi.
            Dalam penelitin ini, metode wawancara digunakan untuk menguatkan metode kuesioner yang terkait dengan rumusan masalah yang kedua, yaitu kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Jadi, wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras. Dalam hal ini, siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 yang menjadi sumber informasi dan peneliti sebagai pencari informasi.
            Dalam pelaksanaannya wawancara terdiri atas 2 jenis, yaitu wawancara berstruktur dan wawancara mendalam. Wawancara berstruktur adalah wawancara yang dipandu dengan daftar pertanyaan, sedangkan wawancara mendalam adalah wawancara yang dilakukan untuk memperoleh informasi lebih mendalam tentang jati diri informan. Dalam hal ini, antara pewawancara ataupun informan boleh berbicara bebas.
            Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini digunakan wawancara berstruktur, mengingat peneliti telah menyiapkan daftar pertanyaan tertulis yang nantinya dijawab langsung oleh siswa yang diwawancarai.

3.4 Metode Pengolahan Data
            Setelah data terkumpul maka dilanjutkan dengan proses pengolahan data. Data mentah yang diporoleh harus diolah sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk mengolah data adalah metode analisis deskriftif. Sugiyono (1999:13-14) menyatakan bahwa metode analisis deskriftif adalah statistik yang digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan objek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tetapi tidak digunakan untuk membuat simpulan yang lebih luas. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam mengolah data, yaitu (1) mengubah skor mentah menjadi skor standar; (2) menentukan kriteria predikat; (3) mengelompokan prestasi siswa; (4) mencari skor rata-rata; (5) menarik simpulan.

3.4.1   Mengubah Skor Mentah Menjadi Skor Standar
            Karena data yang terkumpul masih berupa skor mentah, maka langkah selanjutnya adalah mengubah skor mentah tersebut menjadi skor standar. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengubah skor mentah tersebut menjadi skor standar, yaitu (1) menentukan skor maksimal ideal dan (2) membuat pedoman konversi.

3.4.1.1 Menentukan Skor Maksimal Ideal (SMI)
Skor maksimal ideal adalah skor tertinggi yang mungkin dicapai oleh siswa apabila dapat menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras dengan baik dan benar sesuai dengan aspek-aspek yang dinilai. Penilaian kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras terdiri dari lima aspek, yaitu (1) onek-onekan; (2) reng dan suara; (3), padalingsa; (4) raras; (5) tikas. (1) onek-onekan skor maksimalnya adalah 4; aspek (2) reng dan suara skor maksimalnya adalah 5; aspek (3) padalingsa skor maksimalnya adalah 4; (4) raras skor maksimalnya adalah 4; (5) tikas skor maksimalnya adalah 4. Jadi jika siswa dapat menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras dengan sempurna, maka skor maksimal ideal (SMI) yang dicapai adalah 4 + 5 + 4 + 4 + 4 = 21.

3.4.1.2 Membuat Pedoman Konversi
Membuat pedoman konversi digunakan untuk mengubah skor mentah menjadi skor skor standar. Dalam penelitian ini, untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar digunakan pedoman konversi norma absolut skala 100. Skala 100 adalah skala yang bergerak antara nol sampai seratus. Skala 100 juga disebut skala persentil. Untuk mengkonversikan skor mentah menjadi skor standar dengan norma absolut skala 100 digunakan rumus sebagai berikut.               
Keterangan:
            P          = persentil
            X         = skor yang dicapai
SMI     = skor maksimal ideal
(Gunartha, 2009:74)
            Misalnya seorang siswa mendapatkan skor mentah 21, maka skor standarnya adalah

3.4.2        Menentukan Kriteria Predikat
            Untuk menentukan kriteria predikat kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras, maka skor standar yang diperoleh harus dikonversikan dengan kritera predikat. Adapun kriteria  predikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 3.4 Kriteria Predikat Menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras oleh Siswa
                Kelas XI SMA Negeri  8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012

No.
Skor Standar
Kriteria/Predikat
1.
90–100
Sangat Baik
2.
75–89
Baik
3.
60–74
Cukup
4.
≤ 59
Kurang
                                                                                    (Depdiknas, 2006:3)
            Adapun kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan dalam mata pelajaran bahasa Bali kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 adalad sebagai berikut.

Tabel 3.5 Kriteria Ketuntasan Minimal Mata Pelajaran Bahasa Bali Kelas XI SMA Negeri  8 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012

Rentangan Nilai
Ketuntasan
72-100
Tuntas
<72
Tidak tuntas

3.4.3 Mengelompokkan Prestasi Siswa
            Pada tahap ini kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada Pakang Raras dikelompokan berdasarkan jumlah presentasenya. Misalnya, berapa siswa yang mendapatkan nilai 65, berapa orang yang mendapat nilai 70, dan seterusnya.

3.4.4 Mencari Skor Rata-rata
            Untuk mencari skor rata-rata kemampuan siswa dalam menembangkan Pupuh Ginada pakang Raras didapat dengan menjumlahkan nilai seluruh siswa, kemudian dibagi dengan jumlah seluruh siswa. Hal tersebut dapat dicari dengan rumus di bawah ini.
 
Keterangan:
            Me       = mean (rata-rata)
                     = Epsilon (dibaca jumlah)
            Xi        = nilai X ke- i sampai ke n
            n          = jumlah individu
                                                ( Sugiyono, 1999:42-43)
            Berdasarkan skor rata-rata yang diperoleh, dapat diketahui secara keseluruhan kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 8 tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan Pupuh Ginada pakang Raras.

3.4.5 Menarik Simpulan
            Berdasarkan skor rata-rata yang diperoleh. dapat disimpulkan kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 dalam menembangkan pupuh Ginada Pakang Raras sebagai hasil akhir suatu penelitian setelah mengikuti proses pengumpulan dan pengolahan data.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar